Tokoh Sufi Jalaluddin Rumi

Jalaluddin Rumi adalah penyair sufi terbesar dari Persia.. Kebesaran Rumi terletak pada kedalaman ilmu dan kemampuan mengungkapkan perasaannya ke dalam bahasa yang indah. Karena kedalaman ilmunya itu, puisi-puisi Rumi juga dikenal mempunyai kedalaman makna. Hal itulah yang menyebabkan puisi-puisi Rumi sulit tertandingi oleh penyair sufi sebelum maupun sesudahnya. Rumi memang bukan sekadar penyair, tetapi ia juga tokoh sufi yang berpengaruh pada zamannya. Rumi adalah guru nomor satu tarekat Maulawiah, sebuah tarekat yang berpusat di Turki. Tarekat Maulawiah pernah berpengaruh besar dalam lingkungan Istana Turki Utsmani dan kalangan seniman pada sekitar tahun l648.



Fariduddin Attar, seorang tokoh sufi, ketika berjumpa dengan Rumi yang baru berusia 5 tahun pernah meramalkan bahwa si kecil itu kelak bakal menjadi tokoh spiritual besar. Ramalan Fariduddin tidak meleset. Lahir di Balkh, Afghanistan pada 604 H / 30 September 1207 Rumi menyandang nama lengkap Jalaluddin Muhammad bin Muhammad al-Balkhi al-Qunuwi. Adapun panggilan Rumi karena sebagian besar hidupnya dihabiskan di Konya (kini Turki), yang dahulu dikenal sebagai daerah Rum (Roma). Ayahnya, Bahauddin Walad Muhammad bin Husein, adalah seorang ulama besar bermadzhab Hanafi. Karena kharisma dan tingginya penguasaan ilmu agamanya, ia digelari Sulthanul Ulama (raja ulama). Namun gelar itu menimbulkan rasa iri pada sebagian ulama lain. Merekapun melancarkan fitnah dan mengadukan Bahauddin ke penguasa. Sang penguasa terpengaruh hingga Bahauddin harus meninggalkan Balkh, termasuk keluarganya. Ketika itu Rumi baru berusia lima tahun.



Sejak itu Bahauddin bersama keluarganya hidup berpindah dari suatu negara ke negara lain. Mereka pernah tinggal di Sinabur (Iran timur laut). Dari Sinabur pindah ke Baghdad, Makkah, Malattya (Turki), Laranda (Iran tenggara) dan terakhir menetap di Konya, Turki. Raja Konya Alauddin Kaiqubad, mengangkat ayah Rumi sebagai penasihatnya dan juga mengangkatnya sebagai pimpinan sebuah perguruan agama yang didirikan di ibukota tersebut. Di kota ini pula ayah Rumi wafat ketika Rumi berusia 24 tahun. Di samping kepada ayahnya, Rumi juga berguru kepada Burhanuddin Muhaqqiq at-Turmudzi, sahabat dan pengganti ayahnya memimpin perguruan. Rumi juga menimba ilmu di Syam (Suriah) atas saran gurunya itu. Ia baru kembali ke Konya pada 634 H, dan ikut mengajar pada perguruan tersebut. Setelah Burhanuddin wafat, Rumi menggantikannya sebagai guru di Konya. Di samping sebagai guru, ia juga menjadi da'i dan ahli hukum Islam. Ketika itu di Konya banyak tokoh ulama berkumpul dan kemudian Konya menjadi pusat ilmu dan tempat berkumpul ulama dari penjuru dunia.



Sebagai tokoh sufi, Rumi sangat menentang pendewaan akal dan indera dalam menentukan kebenaran. Pada zamannya, ummat Islam memang sedang dilanda penyakit itu. Bagi kelompok yang mengagulkan akal, kebenaran baru dianggap benar bila mampu digapai oleh indera dan akal. Segala sesuatu yang tidak dapat diraba oleh indera dan akal, cepat-cepat mereka ingkari dan tidak diakui. Padahal, menurut Rumi, justru pemikiran semacam itulah yang dapat melemahkan iman kepada sesuatu yang ghaib. Dan karena pengaruh pemikiran seperti itu pula, kepercayaan kepada segala hakekat yang tidak kasat mata, yang diajarkan berbagai syariat dan beragam agama samawi, bisa menjadi goyah.



Rumi mengatakan, "Orientasi kepada indera dalam menetapkan segala hakekat keagamaan adalah gagasan yang dipelopori kelompok Mu'tazilah. Mereka merupakan para budak yang tunduk patuh kepada panca indera. Mereka menyangka dirinya termasuk Ahlussunnah. Padahal, sesungguhnya Ahlussunnah sama sekali tidak terikat kepada indera-indera, dan tidak mau pula memanjakannya." Bagi Rumi, tidak layak meniadakan sesuatu hanya karena tidak pernah melihatnya dengan mata kepala atau belum pernah meraba dengan indera. Sesungguhnya batin akan selalu tersembunyi dibalik yang lahir, seperti faedah penyembuhan yang terkandung dalam obat. "Padahal, yang lahir itu senantiasa menunjukkan adanya sesuatu yang tersimpan, yang tersembunyi di balik dirinya. Bukankah Anda mengenal obat yang bermanfaat? Bukankah kegunaannya tersembunyi di dalamnya?" tegas Rumi.



Kesufian dan kepenyairan Rumi dimulai ketika ia sudah berumur 48 tahun. Sebelumnya Rumi adalah seorang ulama yang memimpin sebuah madrasah yang punya murid sebanyak 4.000 orang. Sebagaimana seorang ulama, ia juga memberi fatwa dan tumpuan ummatnya untuk bertanya dan mengadu. Kesufiannya itu ketika ia berjumpa dengan seorang sufi pengelana, Syamsuddin alias Syamsi Tabriz. Suatu saat seperti biasanya Rumi mengajar di hadapan khalayak dan banyak yang menanyakan sesuatu kepadanya. Tiba- tiba seorang lelaki asing �yakni Syamsi Tabriz-- ikut bertanya, "Apa yang dimaksud dengan riyadhah dan ilmu?" Mendengar pertanyaan seperti itu Rumi terkesima. Ia tidak mampu menjawab. Berikutnya Rumi berkenalan dengan Tabriz. Setelah bergaul beberapa saat ia mulai kagum kepada Tabriz yang ternyata seorang sufi. Ia berbincang-bincang dan berdebat tentang berbagai hal dengan Tabriz. Mereka betah tinggal di dalam kamar hingga berhari-hari.



Sultan Salad putera Rumi, mengomentari perilaku ayahnya itu, "Sesungguhnya, seorang guru besar tiba-tiba menjadi seorang murid kecil. Setiap hari sang guru besar harus menimba ilmu darinya, meski sebenarnya beliau cukup alim dan zuhud. Dalam diri Tabriz, guru besar itu melihat kandungan ilmu yang tiada taranya." Rumi benar-benar tunduk kepada guru barunya itu. Di matanya Tabriz benar-benar sempurna dan Rumi kemudian lalai dengan tugas mengajarnya. Akibatnya banyak muridnya yang protes dan mereka menuduh orang asing itulah biang keladinya. Karena takut terjadi fitnah dan takut atas keselamatan dirinya, Tabriz lantas secara diam-diam meninggalkan Konya dan hal tersebut menjadikan Rumi dirundung duka. Ia hanya mengurung diri di dalam rumah dan juga tidak bersedia mengajar. Tabriz yang mendengar kabar ini lantas berkirim surat menegur Rumi. Karena merasakan menemukan gurunya kembali, gairah Rumi bangkit kembali dan mulai mengajar lagi. Beberapa saat kemudian ia mengutus putranya Sultan Salad mencari Tabriz di Damaskus. Lewat putranya Rumi ingin menyampaikan penyesalan dan permintaan maaf atas tindakan murid-muridnya dan menjamin keselamatan gurunya bila berkenan kembali ke Konya.



Demi mengabulkan permintaan Rumi, Tabriz kembali ke Konya. Dan mulailah Rumi berasyik-asyik kembali dengan Tabriz. Lambat-laun rupanya para muridnya merasakan diabaikan kembali dan mereka mulai menampakkan perasaan tidak senang kepada Tabriz. Lagi-lagi sufi pengelana itu secara diam-diam meninggalkan Rumi lantaran takut terjadi fitnah. Kendati Rumi ikut mencari hingga ke Damaskus Tabriz tidak kembali lagi. Rumi telah menjadi sufi berkat pergaulannya dengan Tabriz. Kesedihan dan kerinduannya untuk berjumpa lagi dengan gurunya itu telah ikut berperan mengembangkan emosinya, sehingga ia menjadi penyair yang sulit ditandingi. Guna mengenang dan menyanjung gurunya itu ia tulis syair- syair yang himpunannya kemudian dikenal dengan nama Divan-i Syams-i Tabriz. Ia bukukan wejangan-wejangan gurunya dan buku itu dikenal dengan nama Maqalat-i Syams Tabriz.



Rumi kemudian mendapat sahabat dan sumber inspirasi baru, Syekh Hisamuddin Hasan bin Muhammad. Atas dorongan sahabatnya itu ia berhasil selama 15 tahun terakhir masa hidupnya menghasilkan himpunan syair yang besar dan mengagumkan yang diberi nama Masnavi-i. Buku ini terdiri dari enam jilid dan berisi 20.700 bait syair. Dalam karyanya ini terlihat ajaran-ajaran tasawuf yang mendalam yang disampaikan dalam bentuk apologi, fabel, legenda, anekdot, dan lain-lain. Karya tulisnya yang lain adalah Ruba'iyyat (sajak empat baris dalam jumlah 1600 bait), Fiihi Maa fiihi (dalam bentuk prosa merupakan himpunan ceramah tentang tasawuf) dan Maktubat (himpunan surat-suratnya kepada sahabat atau pengikutnya). Bersama Syekh Hisamuddin pula Rumi mengembangkan tarekat Maulawiyah atau Jalaliyah. Tarekat ini di Barat dikenal dengan nama The Whirling Dervishes (Para Darwisy yang Berputar-putar). Nama itu muncul karena para penganut tarekat ini melakukan tarian berputar-putar yang diiringi gendang dan suling dalam dzikir mereka untuk mencapai ekstase.



Dan semua manusia tentu akan kembali kepada-Nya, demikianlah yang terjadi pada Rumi. Penduduk Konya tiba-tiba dilanda kecemasan gara-gara mendengar kabar bahwa tokoh panutan mereka Rumi sakit keras. Meski menderita sakit keras pikiran Rumi masih menampakkan kejernihannya. Seorang sahabatnya datang menjenguk dan mendo'akan "Semoga Allah berkenan memberi ketenangan kepadamu dengan kesembuhan." Rumi sempat menyahut "Jika engkau beriman dan bersikap manis, kematian itu akan bermakna baik. Tapi kematian ada juga kafir dan pahit." Pada 5 Jumadil Akhir 672 H dalam usia 68 tahun Rumi wafat. Tatkala jenazahnya hendak diberangkatkan, penduduk setempat berdesakan ingin menyaksikan. Begitulah kepergian seseorang yang dihormati ummatnya.
Share on :

0 comments:

Post a Comment

 
© Copyright Tokoh Ternama All Rights Reserved.