Abu Dzar al Ghifari

Nama lengkapnya yang mashur ialah Jundub bin Junadah Al Ghifari dan terkenal dengan kuniahnya Abu Dzar. Di suatu hari tersebar berita di kampung Bani Ghifar, bahwa telah muncul di kota Makkah seorang yang mengaku sebagai utusan Allah dan mendapat berita dari langit. Serta merta berita ini sangat mengganggu penasaran Abu Dzar, sehingga dia penasaran untuk bertemu sendiri dengan orang yang berada di Makkah yang mengaku telah mendapatkan berita dari langit itu. Segeralah dia berkemas untuk berangkat menuju Makkah, demi menenangkan suara hatinya itu. Dan sesampainya dia di Makkah, langsung saja menuju Ka�bah dan tinggal padanya sehingga bekal yang dibawanya habis. Dia sempat bertanya kepada orang-orang Makkah, siapakah diantara kalian yang dikatakan telah meninggalkan agama nenek moyangnya? Orang-orangpun segera menunjukkan kepada Abu Dzar, seorang pria yang ganteng putih kulitnya dan bersinar wajahnya bak bulan purnama. Abu Dzar memang amat berhati-hati, dalam kondisi hampir seluruh penduduk Makkah memusuhi dan menentang Nabi Muhammad sallallahu alaihi wa aalihi wa sallam. Dan orangpun di Makkah dalam keadaan takut dan kuatir untuk mendekat kepada beliau sallallahu alaihi wa aalihi wa sallam, karena siapa yang mendekat kepadanya bila dia kalangan budak, akan menghadapi hukuman berat dari tuannya dan juga bila dari kalangan pendatang yang tidak mempunyai qabilah pelindungnya di Makkah.



Di suatu hari yang cerah, Abu Dzar bernasib baik. Sedang dia berdiri di salah satu pojok Ka�bah, lewat di hadapan beliau Ali bin Abi Thalib dan langsung menegurnya dan menanyakan keperluannya, Abu Dzar pun terperangah mendapat pertanyaan demikian dari satu-satunya orang Quraisy yang telah mengakrabkan dirinya dengan tamu asing ini, sehingga mendapat pertanyaan demikian langsung saja dia balik mengajukan syarat bernada tantangan : �Bila engkau berjanji akan merahasiakan jawabanku, aku akan menjawab pertanyaanmu�. Langsung saja Ali menyatakan janjinya : �Aku berjanji untuk menjaga rahasiamu�. Dan Abu Dzar tidak ragu dan setengah berbisik dia menjelaskan kepada Ali : �Telah sampai kepada kami berita, bahwa telah keluar seorang Nabi�. Mendengar kata-kata Abu Dzar itu Ali menyambutnya dengan gembira dan menyatakan kepadanya : �Engkau sungguh benar dengan ucapanmu ?! ikutilah aku kemana aku berjalan dan masuklah ke rumah yang aku masuki. Maka Abu Dzarpun mengikuti Ali kemanapun dia berjalan, dan dengan tidak mendapati halangan apa-apa, akhirnya dia sampai juga di hadapan Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam dan langsung menanyakan kepada beliau. Inilah saat yang paling dinanti oleh Abu Dzar dan ketika Rasulullah menawarkan Islam, segera Abu Dzar menyatakan masuk Islam dituntun Nabi Muhammad sallallahu alaihi wa wasallam dengan mengucapkan dua kalimah syahadat.



Rasulullah sallallahu alaihi wasallam berwasiat padanya : �Wahai Aba Dzar sembunyikan lah keislamanmu ini, dan pulanglah ke kampungmu !, maka bila engkau mendengar bahwa kami telah menang, silakan engkau datang kembali untuk bergabung dengan kami�. Mendengar wasiat tersebut Abu Dzar menegaskan kepada Rasulullah sallallahu alaihi wasallam: �Demi yang Mengutus engkau dengan kebenaran, sungguh aku akan meneriakkan di kalangan mereka bahwa aku telah masuk Islam�. Dan Rasulullah mendiamkan tekat Abu Dzar tersebut. Segera saja Abu dzar menuju Masjidil Haram dan di hadapan Ka�bah banyak berkumpul para tokoh kafir Quraisy. Abu Dzar berteriak : �Wahai orang Quraisy, aku sesungguhnya telah bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah dan aku bersaksi pula Muhammad itu adalah hamba dan utusan Allah�. Mendengar omongan itu, kafir Quraisy marah dan mereka mengerumuni Abu Dzar sembari memukuli ingin membunuhnya. Syukurlah waktu itu ada Al Abbas bin Abdul Mutthalib tokoh Bani Hasyim paman Rasulillah yang disegani kalangan Quraisy. Keesokan harinya dia mengulanginya dan mereka mengeroyok seorang Abu Dzar untuk kedua kalinya. Dan untuk kedua kalinya ini, Al Abbas berteriak lagi seperti kemarin dan Abu Dzarpun dilepaskan dalam keadaan babak belur bersimbah darah.



Setelah dia puas membikin marah orang-orang kafir Quraisy dengan proklamasi masuk Islamnya, barulah dia bersemangat melaksanakan wasiat Rasulullah sallallahu alaihi wasallam untuk pulang ke kampungnya di kampung Bani Ghifar. Abu Dzar pulang ke kampungnya, dan di sana dia rajin menda�wahi keluarganya. Unais Al Ghifari, adik kandungnya, telah masuk Islam, kemudian disusul ibu kandungnya yang bernama Ramlah bintu Al Waqi�ah Al Ghifariah juga masuk Islam. Sehingga separoh Bani Ghifar telah masuk Islam. Adapun separoh yang lainnya, telah menyatakan bahwa bila Nabi Muhammad sallallahu alaihi wasallam telah hijrah ke Madinah maka mereka akan masuk Islam. Maka segera saja mereka berbondong masuk Islam setelah sampainya berita di bahwa Rasulullah sallallahu alaihi wasallam telah hijrah ke Al Madinah An Nabawiyah. Dengan telah masuk Islamnya seluruh kampung Bani Ghifar, dan setelah perang Badar dan Uhud dan Khandaq, Abu Dzar bergegas menyiapkan dirinya untuk berhijrah ke Al Madinah dan langsung menemui Rasulullah sallallahu alaihi wasallam di masjid beliau.



Dan sejak itu Abu Dzar berkhidmat melayani berbagai kepentingan pribadi dan keluarga Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam. Dia tinggal di Masjid Nabi dan selalu mengawal dan mendampingi Nabi sallallahu alaihi wa aalihi wasallam kemanapun beliau berjalan. Sehingga Abu Dzar banyak menimba ilmu dari Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam. Sehingga Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam sangat mencintainya dan selalu mencari Abu dzar di setiap majlis beliau dan beliau menyesal bila di satu majlis, Abu Dzar tidak hadir padanya. Sehingga beliau menanyakan, mengapa dia tidak hadir dan ada halangan apa. Begitu dekatnya Abu Dzar dengan Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam, dan begitu sayangnya beliau kepada Abu Dzar. Disamping berbagai wasiat Rasulullah sallallahu alaihi wasallam tersebut, dirwayatkan pula pujian dari Nabi sallallahu alaihi wasallam kepada Abu Dzar sebagai berikut ini : �Tidak ada makhluk yang berbicara di kolong langit yang biru dan yang dipikul oleh bumi, yang lebih benar ucapannya dari Abu Dzar�. HR. Ibnu Sa�ad dalam Thabaqatnya jilid 3 hal 161, juga diriwayatkan oleh At Tirmidzi dalam Sunannya, hadits ke 3801 dari Abdullah bin Amer ra.



Setelah wafatnya Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam, Abu Dzar cenderung menyendiri. Tampak benar kesedihan pada wajahnya. Dia adalah orang yang keras, tegas, pemberani, dan sangat kuat berpegang dengan segenap ajaran Nabi Muhammad sallallahu alaihi wasallam disamping kebenciannya kepada segala bentuk kebid�ahan. Dia adalah orang yang penyayang terhadap orang-orang lemah dari kalangan faqir dan miskin. Karena dia terus-menerus berpegang dengan wasiat Nabi. Abu Dzar mempunyai pendapat yang dirasa ganjil oleh banyak orang yang hidup di zamannya, tetapi mereka tidak bisa membantahnya. Abu Dzar sangat keras dengan pendiriannya. Dia berpendapat bahwa menyimpan harta yang lebih dari keperluannya itu adalah haram. Bahkan Abu Dzar menjauh dari para Shahabat Nabi sallallahu alaihi wasallam yang mulai makmur hidupnya karena menjabat jabatan di pemerintahan. Sikap Abu Dzar yang demikian keras, karena amat kuat berpegang dengan wasiat Rasulullah sallallahu alaihi wasallam kepadanya : �Orang yang paling dekat diantara kalian dariku di hari kiamat, adalah yang keadaan hidupnya ketika meninggal dunia, seperti keadaannya ketika aku meninggalkannya untuk mati�. HR. Ibnu Sa�ad dalam Thabaqatnya jilid 3 hal. 162.



Dengan sikap hidup yang demikian, Abu Dzar tidak punya teman dari kalangan sesama para Shahabat Nabi sallallahu alaihi wasallam. Dia pernah tinggal di negeri Syam di zaman pemerintahan Utsman bin Affan radhiyallahu anhu. Waktu itu gubernur negeri Syam adalah Mu�awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu anhu. Maka Mu�awiyah merasa terganggu dengan sikap hidupnya, sehingga meminta kepada Amirul Mu�minin Utsman bin Affan untuk memanggilnya ke Madinah kembali. Abu Dzar akhirnya dipanggil kembali ke Madinah oleh Utsman dan tentu dia segera menta�ati panggilan itu. Sesampainya di Madinah segera saja Abu Dzar menghadap Amirul Mu�minin Utsman bin Affan. Abu Dzar diberi tahu oleh Amirul Mu�minin bahwa dia dikehendaki untuk tinggal di Madinah menjadi orang dekatnya Amirul Mu�minin Utsman. Mendengar penjelasan itu Abu Dzar menegaskan kepada beliau : �Wahai Amirul Mu�minin, aku tidak senang dengan posisi demikian. Izinkanlah aku untuk tinggal di daerah perbukitan Rabadzah di luar kota Madinah�. Maka Amirul Mu�mininpun mengizinkannya. Abu Dzar segera berangkat ke Rabadzah, dan di perbukitan tersebut tidak ada manusia yang tinggal di sana. Dia ingin mengasingkan diri di sana, demi melihat kebanyakan orang merasa terganggu dengan berbagai ungkapannya dan pendapatnya.



Dia tinggal di tempat pengasingannya dengan anak perempuannya dan budak wanita miliknya yang hitam dan jelek rupa. Budak wanita itu dibebaskannya kemudian dinikahinya sebagai istri. Abu Dzar menghabiskan waktunya untuk berdzikir kepada Allah dan membaca Al Qur�an. Sesekali dia turun ke Madinah karena takut tergolong orang yang kembali menjadi badui setelah hijrah. Yang demikian itu dilarang oleh Rasulullah sallallahu alaihi wasallam. Dia semakin senang untuk menyendiri dan semakin rindu untuk bertemu Allah dan RasulNya. Sampailah akhirnya dia menderita sakit ditempat pengasingannya. Dia hanya ditemani oleh anak istrinya di saat-saat akhir hidupnya. Tidak ada orang yang tahu bahwa Abu Dzar sedang sakit dan menderita dengan sakitnya. Bertambah hari tampak bertambah berat penyakit yang dideritanya. Ketika si istri sedang mengamati jalan di depan Rabadzah, tiba-tiba dilihat olehnya dari kejauhan serombongan kafilah sedang mendekat ke arah Rabadhah yang menandakan bahwa mereka akan melewati jalan di depan Rabadzah. Amat gembira istri Abu Dzar melihatnya, sehingga rombongan berhenti didepannya. Rombongan itupun menanyainya : Ada apa engkau ada di sini ? Maka perempuan itupun menyatakan : �Di sini ada seorang pria Muslim yang hendak meninggal, hendaknya kalian mengkafaninya, semoga Allah membalas kalian dengan pahalaNya�. Mereka menanyai : �Siapakah dia ?� Perempuan itu menjawab : �Dia adalah Abu Dzar�.



Mendengar jawaban itu mereka berlarian turun dari kendaraannya masing-masing menuju gubuknya Abu Dzar. Dan ketika mereka sampai di gubuk itu, mereka mendapati Abu Dzar sedang terkulai lemas di atas tempat tidurnya. Tapi masih sempat juga Abu Dzar memberi tahu mereka : �Bergembiralah kalian, karena kalianlah yang diberitakan Nabi sebagai sekelompok kaum Mu�minin yang menyaksikan saat kematian Abu Dzar�. Kemudian Abu Dzar menyatakan kepada mereka : �Kalian menyaksikan bagaimana keadaanku hari ini. Seandainya jubbahku mencukupi sebagai kafanku, niscaya aku tidak dikafani kecuali dengannya. Aku memohon kepada kalian dengan nama Allah, hendaklah janganlah ada yang mengkafani jenazahku nanti seorangpun dari kalian, orang yang pernah menjabat sebagai pejabat pemerintah, atau tokoh masyarakat, atau utusan pemerintah untuk satu urusan�. Semua anggauta rombongan itu adalah orang-orang yang pernah menjabat berbagai kedudukan itu, kecuali seorang pemuda Anshar, yang menyatakan kepadanya : �Aku adalah orang yang engkau cari dengan persyaratan itu. Aku mempunyai dua jubbah dari hasil pintalan ibuku. Satu dari padanya ada di kantong tas bajuku, sedang yang lainnya ialah baju yang sedang aku pakai ini�. Mendengar omongan pemuda Anshar itu Abu Dzar amat gembira, kemudian dengan serta merta menyatakan kepadanya : �Engkaulah orang yang aku minta mengkafani jenazahku nanti dengan jubbahmu itu�. Dengan penuh kegembiraan, Abu Dzar menghembuskan nafas terakhirnya.



Anak istri Abu Dzar akhirnya diungsikan dari Rabadzah ke Madinah sepeninggalnya. Amirul Mu�minin Utsman bin Affan amat pilu mendengar peristiwa kematian Abu Dzar. Beliau hanya mampu menanggapi berita kematian itu dengan mengucapkan : �Semoga Allah merahmati Abu Dzar�. Putri Abu Dzar dimasukkan oleh Utsman bin Affan dalam keluarganya. Demikianlah perjalanan hidup orang yang sangat besar ambisinya kepada kenikmatan hidup di akherat. Dia amat konsisten dengan pandangan hidupnya, sampai pun dibawa mati. Duhai, betapa berat untuk istiqamah di atas kebenaran itu. Di zaman pemerintahan Utsman bin Affan yang penuh limpahan barokah dan ilmu Al Qur�an dan As Sunnah serta masyarakat yang diliputi oleh kejujuran dan ketaqwaan, sempat ada orang yang kecewa dengan masyarakat itu, sehingga memilih hidup menyendiri sampai dijemput mati. Apatah lagi di zaman ini, masyarakat diliputi oleh kejahilan tentang ilmu Al Qur�an dan Al Hadits. Masyarakat yang jauh dari ketaqwaan, sehingga para pendustanya amat dipercaya dan diikuti, sedangkan orang-orang yang jujur justru dianggap pendusta dan dijauhi. Kalaulah tidak karena pertolongan, petunjuk dan bimbingan Allah, niscaya kita semua di zaman ini akan binasa dengan kesesatan, kedustaan dan pengkhianatan serta fitnah yang mendominasi hidup ini. Tapi ampunan dan rahmat Allah jualah yang kita harapkan untuk mengantarkan kita kepada keridho�anNya.

Share on :

0 comments:

Post a Comment

 
© Copyright Tokoh Ternama All Rights Reserved.