Menurut Ibnu Abbas ra : "Ketika Rasulullah SAW sedang menerima kedatangan Utbah bin Rabi'ah, Abu Jahal, dan al-Abbas bin Abdul Muththalib dan berusaha keras menawarkan Islam kepada mereka supaya mereka beriman, tiba-tiba datanglah seorang tunanetra yang dikenal dengan panggilan Abdullan bin Ummi Maktum. Ia minta kepada Rasulullah SAW supaya kepadanya dibacakan ayat-ayat Al-Qur'anul Karim, "Ya Rasulullah, ajarkan kepadaku apa yang diajarkan Allah kepadamu!" Rasulullah SAW mengerutkan muka dan memalingkan pandangannya, kesal pada omongannya lalu meneruskan pembicaraan melayani tamunya. Ibnu Ummi Maktum mengulang harapanya sehingga Rasulullah SAW makin kesal karena ia mengganggu pembicaraannya itu.
Sesudah pertemuan itu usai, beliau terus pergi dan keluarganya meninggalkan tempat itu, Rasa kesal nampak diwajahnya. Allah berfirman dengan tegas dan mencela sikap Nabi SAW seorang yang memiliki akhlak yang luhur. Firman-Nya, Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa). atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran lalu pengajaran itu memberi manfa'at kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya. (QS. 'Abasa: 1-6)
Sesudah ayat-ayat itu turun, Rasulullah SAW sangat menghormati Ibnu Ummi Maktum. Kalau ia datang, selalu ditanyakan," Apa keperluanmu..? Apa perlu bantuanku?" Kalau ia hendak pergi, selalulah ditanyakan," Apakah kau memerlukan sesuatu?" Sejak itulah, kata ats-Tsauri, kalau Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam melihat Ibnu Ummi Maktum datang, beliau menggelar baju luarnya seraya bersabda, "Selamat datang sahabat, yang aku dicela Tuhanku karenannya! Apa kau memerlukan sesuatu?"
Ibnu Ummi Maktum ra seorang awam di kota Mekah, namanya pun diperselisihkan. Penduduk kota Madinah berpendapat namanya adalah Abdullah Ibnu Ummi Maktum, tetapi orang Iraq berpendapat namanya 'Amru bin Ummi Maktum. Walaupun demikian, mereka semua sepakat bahwa nama ibunya adalah Atikah binti Abdullah bin Ma'ish. Dia adalah putera dari bibi Khadijah binti Khuwalid. Matanya buta sejak kecil, penduduk kota Mekah mengenalnya sebagai seorang yang rajin mencari rezeki dan belajar ilmu pengetahuan. Meskipun ia seorang tunanetra, namun semangatnya bergelora untuk belajar dan mengetahui segala yang didengarnya. Ia menggunakan pendengarannya sebagai pengganti matanya, apa yang didengarnya tidak dilupakan lagi sehingga ia mampu mengutarakan kembali apa yang pernah didengarnya dengan baik sekali.
Dia mendengar mustadh'afin dan hamba sahaya di kota Mekah pergi ke Darul Arqam untuk mendengarkan berita dari langit yang dibawakan Muhammad al-Amin. Wahyu yang disampaikan kepada Muhammad al-Amin itu menganjurkan persamaan sesama umat manusia. Kaum Mustadh'afin dan para hamba sahaya tertarik seruan itu, sedangkan tokoh Quraisy berusaha keras mempertahankan kehidupan Jahiliah, Ibnu Ummi Maktum memutuskan pergi ke majelis Ibnul Arqam meyakinkan berita tersebut. Ia mengayunkan langkahnya menuju kesana. Ternyata apa yang didengarnya lebih hebat dari apa yang diberitakan orang. Suara yang didengarnya berhasil membuka pintu hatinya dan menimbulkan kedamaian.
Ibnu Ummi Maktum mengulurkan tangannya kepada Rasulullah SAW menyatakan ke-Islamannya dan masuk barisan kaum beriman, menyatakan janji kepada Allah dan Rasul-Nya untuk mengorbankan segala demi tegaknya Islam. Semangatnya untuk mengetahui agama itu lebih mendalam dan tidak tertahankan lagi. Apa yang didengarnya dicerna dan diresapi dengan baik. Ia mulai melakukan tugasnya yang sejak lama dipersiapkannya dengan mengajukan banyak pertanyaan kepada Rasulullah SAW, yaitu mengajarkan dasar-dasar agama Islam, mengajar penduduk kota Madinah menghafal ayat al-Qur'an dan menyiapkan hati serta jiwa masyarakat menyambut kedatangan Nabi Muhammad SAW yang hendak berhijrah ke Madinah.
Rasulullah SAW tinggal di rumah Bani an-Najjar dan Ibnu Ummi Maktum ikut aktif dalam pembangunan masjidnya, tak pernah absen dalam mengikuti pelajaran yang diberikannya, selalu shalat jama'ah di belakang beliau dan hampir tidak ada ayat yang turun di Madinah yang tidak diketahuinya. Menurut Anas bin Malik ra, "Pada suatu hari, Malaikat Jibril datang kepada Rasulullah SAW. Disana ada Ibnu ummi Maktum; ia lalu bertanya , 'Sejak kapan kau tidak dapat melihat?' 'Sejak kanak-kanak.' 'Allah berfirman, 'Apabila Aku mengambil indra penglihatan hamba-Ku, tiada imbalan baginya selain surga."Selamat bagimu, wahai Ibnu Ummi Maktum! Engkau berhasil menjadi sahabat Rasulullah SAW dan mendapat berita gembira masuk surga, langsung dari malaikat Jibril."Apabila Rasulullah SAW menjumpainya, beliau suka berucap, "Selamat datang, wahai orang yang dititipkan Tuhanku untuk diperlakukan dengan baik!"
Apabila Bilal radhiallaahu 'anhu tidak ada, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam suka sekali menyuruhnya mengumandangkan azan shalat lima waktu karena suaranya merdu dan lembut, tetapi kalau Bilal hadir, ia yang adzan dan Ibnu Ummi Maktum yang iqamat. Pada bulan Ramadhan, Bilal radhiallaahu 'anhu azan untuk mengingatkan orang akan waktu makan-minum sahur, tetapi kalau terdengar azan Ibnu Ummi Maktum, makan-minum harus dihentikan; itu tanda waktu imsak sudah tiba. Menurut Abdullah bin Umar radhiallaahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam pernah bersabda, "Apabila Bilal azan pada malam hari, maka kalian boleh makan dan minum hingga mendengar azannya Ibnu Ummi Maktum!"
Ibnu Ummi Maktum termasuk sahabat yang sangat mencintai Rasulullah SAW. Di hatinya, beliau lebih dari sanak keluarga, bahkan dari diri pribadinya sendiri. Ibnu Ummi Maktum pernah tinggal di rumah seorang wanita Yahudi, bibi seorang Anshar. Wanita itu baik budi dan melayani makan-minumnya, tetapi mulutnya tidak pernah diam menyerang orang yang paling dicintai Ibnu Ummi Maktum. Ia tidak sabar mendengar ejekan itu. Ia berusaha beberapa kali menegurnya, tetapi peringatannya itu tidak diindahkan. Terpaksalah ia memukulnya. Ternyata pukulan itu mematikan. Hal ini dilaporkan kepada Rasulullah SAW sesudah ia dihadapkan, Rasulullah SAW bertanya, "Mengapa kau bertindak demikian?" "Wahai Rasulullah! Sungguh, ia seorang yang baik budi terhadap diriku, namun ia senantiasa mencela dan mencerca Allah dan Rasul-Nya, maka terpaksalah aku memukulnya untuk menghentikannya, namun kiranya ajalnya sudah sampai." "Allah telah menjauhkannya dan ia telah membatalkan darahnya?�
Rasulullah SAW sering mengangkatnya sebagai wakil apabila beliau keluar meninggalkan Madinah dalam peperangan, umpamanya ketika pergi menyerang Kabilah Banu Sulaim dan Kabilah Ghathafan. Ia menjadi Imam jamaah dan Khatib shalat Jumat. Begitu pula ketika Rasulullah pergi berperang ke Uhud, Hamra'al-Asad, Bani an-Nadhir, Khandaq, Bani Quraizah, Bani Lahyan, al-Ghabah, Dzi Qirad, dan Umrah al-Hudaibiyah. "Rasulullah SAW terlibat dalam penyerangan ofensif sebanyak tiga belas kali; beliau selalu mengangkat Ibnu Ummi Maktum sebagai pejabat untuk menggantikannya di Madinah, mengimami orang shalat jamaah dan lain-lain, padahal ia seorang tunanetra," demikian ucap asy-Sya'bi. Ia mengikuti kehidupan sosial dan politik kaum muslimin, mengikuti kegiatan berbagai perutusan yang pergi dan datang menghadap Rasulullah SAW. Ia sering sekali berpuasa dan shalat malam. Hampir seluruh masa hidupnya diisi dengan peribadatan atau ikut berperan aktif dalam kegiatan kaum muslimin.
Kemudian, turunlah firman Allah, "Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak terut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat�" (QS An-Nisaa': 95) Jadi, di sana masih terdapat lapangan peribadahan yang ganjarannya lebih utama dari ganjaran yang mungkin diperolehnya. Ada suatu taqarrub dilakukan orang, yang lebih mendekatkan orang itu kepada Allah lebih dari dirinya. Ia lalu merintih menangisi nasibnya kepada Allah Ta'ala, "Ya Allah, Engkau mengujiku dengan kebutaan. Apa yang dapat aku lakukan selain mengharap rahmat Mu yang meliputi segala-galanya." Lalu turunlah firman-Nya,.. "yang tidak mempunyai uzur�," sebagai pelengkap.
Menurut Ibnu Abbas ra, "Ketika firman Allah, 'Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak turut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yagn berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa mereka�,' diturunkan, Abdullah bin Ummi Maktum yang buta menemui Rasulullah SAW, lalu bertanya, 'Wahi Rasulullah, Allah telah menurunkan keutamaan jihad fi sabilillah ; seperti yang baginda ketahui, aku ini seorang tunanetra, tidak bisa ikut berjihad, apakah kepadaku diberi izin tidak ikut berjihad? Rasulullah SAW menjawab, 'Aku belum mendapat keterangan mengenai dirimu dan orang-orang yang senasib denganmu.' Ibnu Ummi Maktum lalu menengadahkan wajahnya dan mengangkat kedua tangannya seraya berseru, 'Ya Allah, aku memohon pertimbangan-Mu mengenai pengelihatanku ini.' Lalu, turunlah ayat, 'Tidak sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunya uzur dengan orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa mereka�'"
Izin sudah ia peroleh dari Allah Ta'ala; apakah ia memanfaatkan izin itu? akan mengikuti pasukan Islam yang menuju ke al-Qadisiyah. Ia ingin memperoleh ganjaran seorang mujahid. Ia memohon kepada komandan perang, "Hai kekasih Allah, hai sahabat Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam , Hai pahlawan perang, serahkan bendera perang itu kepadaku. Aku seorang tunanetra, tak mungkin bisa lari. Nanti tempatkanlah aku diantara kedua pasukan yang berperang." Menurut Qotadah, Anas bin Malik radhiallaahu 'anhu berkata: "dalam perang al-Qadisiyah, Abdullah bin Ummi Maktum memegang bendera hitam dan memakai baju besi." Ia lalu kembali ke Madinah dan meninggal dunia di sana. Semoga Allah merahmatinya, aamin.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment