PROLOG | Penerima penghargaan Magsaysay Award (2008) dan Habibie Award dalam bidang harmonisasi kehidupan beragama (2010), itu tampak tak merasa lelah, apalagi merasa takut, untuk menyampaikan pesan-pesan moral, suara kenabian, untuk membangun etika moral dan karakter bangsa, menyebar nilai-nilai agama (Islam) yang rahmatan lil ’alamin. Memperjuangkan nilai-nilai toleransi dan perdamaian, kebenaran dan keadilan serta kemanusiaan universal.
Sangat pantas,mantan Presiden World Conference on Religion for Peace (WCRP) kelahiran Sumpur Kudus, Sumatera Barat, 31 Mei 1935, itu diberikan sebutan Buya, suatu panggilan kehormatan buat orang Minangkabau yang berasal dari kata abi, abuya dalam bahasa Arab, yang berarti ayahku, atau seseorang yang dihormati.
Perpaduan keahlian sebagai sejarawan, ahli filsafat dan agamawan (ulama) telah mengasah dirinya menjadi manusia pembelajar, guru pembawa obor moral bangsa. Buya Syafii Maarif tidak kuasa untuk bungkam, jika melihat ada sesuatu yang perlu diluruskan atau diperbaiki. Demi keberagaman, kemanusiaan, kebenaran dan keadilan, dia tidak mau terpengaruh oleh tekanan maupun kenikmatan.
Perpaduan keahlian sebagai sejarawan, ahli filsafat dan agamawan (ulama) telah mengasah dirinya menjadi manusia pembelajar, guru pembawa obor moral bangsa. Buya Syafii Maarif tidak kuasa untuk bungkam, jika melihat ada sesuatu yang perlu diluruskan atau diperbaiki. Demi keberagaman, kemanusiaan, kebenaran dan keadilan, dia tidak mau terpengaruh oleh tekanan maupun kenikmatan.
Kekuatan reliji (Islam) yang telah dimiliki sejak pengasuhan masa kecil, remaja, dewasa hingga masa tuanya, telah menempanya menjadi seorang cendekia yang arif, baik dalam pergulatan keilmuan, keagamaan dan pergaulan kemasyaratan, kebangsaan dan kenegaraan. Dalam konteks keberagamaan, kemasyarakatan dan kebangsaan, dia adalah seorang pejuang keberagaman (pluralisme), toleransi, perdamaian dan kemanusiaan. Dalam konteks bernegara, dia adalah negarawan sejati yang taat pada asas dan nilai-nilai dasar Pancasila dan UUD 1945 serta aturan hukum turunannya.
Seorang tokoh agama (Islam) yang kaya kearifan sejarah dan filsafat. Pesan, pemikiran dan pandangan serta kritiknya sangat terasa bening dan tulus. Dia tak pernah terlihat mengusung beban kepentingan diri dan/atau kelompoknya. Suaranya adalah suara kenabian yang mendorong semua orang meninggalkan kemungkaran menuju kebaikan. Suara (Islam) yang rahmatan lil alamin.
Mantan Anggota Dewan Pertimbangan Agung RI (1999-2003), ini tidak pernah merasa sungkan, baik kepada penguasa dan ulama, maupun sahabat dan kerabat dekat, untuk melontarkan kritik dan pandangan atas sesuatu yang dianggapnya perlu diperbaiki. Dia adalah seorang agamawan dan cendekiawan yang memiliki kemauan dan kemampuan mencubit dan menertawakan diri sendiri. Bahkan kemampuan itu, sudah menjadi sifat dan karakter yang menyatu dalam dirinya, yang terpancar dari penampilan kesehariannya yang rendah hati dan bersahaja.
Bagi dia, rendah hati adalah refleksi dari iman. Dia adalah salah satu orang (ulama dan cendekia) yang semakin berisi (beriman dan berilmu) menjadi semakin rendah hati. Dia memancarkan pesan: Cilakalah seseorang, termasuk penguasa, jika menampakkan filsafat ilalang, yang jika semakin tinggi semakin liar tumbuhnya.
Kendati sudah meraih gelar profesor doktor dan telah menjelajah berbagai belahan dunia, bergaul dengan berbagai lapisan elit dunia, dia tetap membanggakan sikapnya sebagai orang desa, si anak kampoeng. Sekadar contoh, hingga di usia emasnya, dia masih belum merasa canggung berbelanja di pasar dan memasak sendiri, bila isteri tak ada di rumah. Bahkan, dia berani bertanding masak dengan siapa saja, dari segi rasa dan tanpa bumbu yang aneh-aneh. Pada usia mendekati 80 tahun, dia pun masih terbiasa menyetir mobil sendiri, untuk perjalanan yang tidak terlalu jauh. Dia tak pernah merasa menjadi kecil dengan kebiasaan itu dan juga tak merasa besar jika kehidupan ala kampung itu ditinggalkan.
Maka, tak heran jika dia melihat gejala filsafat ilalang melekat pada diri seseorang, terutama para pejabat publik, penguasa, dia pasti bersuara. Termasuk kepada kelompok-kelompok tertentu (mayoritas atau minoritas) yang memaksakan kehendak kepada pihak lain, memaksakan kebenaran keyakinannya supaya menjadi keyakinan orang lain, dia pasti bersuara.
Kekuatan dan cakrawala luas pemahaman keagamaannya sebagai seorang muslim, ditambah keahlian filsafat dan ilmu sejarahnya, serta pengalaman empiris dalam pergulatan hidupnya, telah menjadikan keberadaan dan kearifannya dirasakan menjadi rahmat bagi semua, bagi sesama, tanpa batas suku, ras, agama atau golongan. Dia telah menjadi milik semua dan guru moral bangsa.
Kehadirannya, tak ubahnya seperti obor yang menerangi sekitar, menembus kegelapan. Dia adalah seorang agamawan dan cendekiawan, yang selain memberi cahaya pencerahan berpikir mengatasi masalah, juga untuk mengenali kebenaran serta berkeberanian memperjuangkan kebenaran itu demi kepentingan umum, meskipun menghadapi tekanan, ancaman dan cibiran.
Pemilik gelar Master Ilmu Sejarah dari Departemen Sejarah Ohio State Universitas, Ameria Serikat (1982) dan Doktor Program Studi Bahasa dan Peradaban Timur Dekat dari Universitas Chicago, Amerika Serikat (1983), ini juga tak pernah terlihat merasa letih menyampaikan ide-ide dan gagasan-gagasan baru tentang berbagai masalah serta memublikasikan dan mendiskusikannya dengan khalayak ramai (publik).
Guru Besar Ilmu Sejarah IKIP Yogyakarta (sekarang Universitas Negeri Yogyakarta), ini sangat aktif (murah hati) menyampaikan (mentransformasi) dan mengaktualisasi ide dan gagasannya kepada orang lain atau publik. Baik dalam percakapan keseharian, forum diskusi dan seminar, maupun dalam bentuk tulisan di berbagai media (pers) dan buku.
Belasan buku yang mencerahkan telah ditulis dan diterbitkannya. Di antaranya: Dinamika Islam, 1984; Islam, Mengapa Tidak, 1984; Islam dan Masalah Kenegaraan, 1985; Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, 1993; Membumikan Islam, 1995; Islam: Kakuatan Doktrin dan Kegamangan Umat, 1997; Islam dan Politik: Upaya Membingkai Peradaban, 1999; Independensi Muhammadiyah di Tengah Pergumulan Pemikiran Islam dan Politik, 2000; Indonesia (Menengok ke Belakang untuk Melangkah ke Depan), 2002; Mencari Autentisitas dalam Kegalauan, 2004; Menggugah Nurani Bangsa, 2005; Islam, Good Governance dan Pengentasan Kemiskinan, 2007; dan, Islam dalam Bingkai KeIndonesiaan dan Kemanusiaan, Sebuah Refleksi Sejarah, 2009.
Dia pun sangat banyak menulis di berbagai media. Di antaranya, mengisi kolom Resonansi Harian Republika, dan kolom Opini Harian Kompas. Tulisannya di Harian Kompas, Senin, 3 Januari 2011 berjudul: Tahun 2011 bagi Indonesia; yang juga dipublikasikan TokohIndonesia.com di bawah judul: Jangan Merasa Benar di Jalan Sesat!; dilanjutkan tulisan di Harian Kompas, Senin, 07 Februari 2011 berjudul: Main Api Terbakar; yang juga dipublikasikan TokohIndonesia.com di bawah judul: Drama, Siapa Pemain Api?; sangat sarat pesan moral – yang amat berani – mengingatkan penguasa supaya kembali ke jalan yang benar.
Pesan moral supaya penguasa jangan merasa benar di jalan sesat, itu disuarakannya lebih terbuka bersama delapan tokoh lintas agama lainnya (Andreas A Yewangoe, Din Syamsuddin, Pendeta D Situmorang, Bikkhu Pannyavaro, Shalahuddin Wahid, I Nyoman Udayana Sangging, Franz Magnis Suzeno, dan Romo Benny Susetyo), setelah melakukan pertemuan pada Senin (10/1/2011) di kantor Dakwah PP Muhammadiyah, Jakarta. Mereka menyatakan Tahun 2011 sebagai Tahun Perlawanan Atas Kebohongan. Pada saat itu dipaparkan secara terbuka 18 kebohongan publik yang dilakukan pemerintah.
Bagi penguasa, pesan moral ini pastilah tidak enak. Begitu pula bagi para loyalis dan ulama/rohaniawan yang setia pada penguasa. Mereka menilai pernyataan ini kurang pantas dikemukakan para tokoh lintas agama. Penguasa pun bereaksi dengan mempertahankan kebenaran diri dan menolak disebut pembohong. Bahkan menuding para tokoh lintas agama itu melakukan gerakan politik.
Kendati Syafii Maarif bersama para tokoh lintas agama, itu membantah kalau pesan moral mereka dipolitisasi untuk kepentingan golongan tertentu. Dia menegaskan keberadaan gerakan tokoh lintas agama adalah untuk mengingatkan pemerintah. “Bukan gerakan politik, tapi gerakan moral,” ucap Buya saat jumpa pers sejumlah tokoh lintas agama di kantor Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) di Jakarta, Kamis (20/1/2011).
Demikianlah memang hakekat suara kebenaran (moral, kenabian) yang mengusung kebenaran demi kebaikan bersama tanpa beban interes kepentingan diri sendiri. Tidak jarang pembawa suara moral, malah dihukum, dicaci-maki, dihujat dan dibenci. Maka tak semua yang merasa diri ulama, rohaniawan dan cendekiawan memiliki kekuatan dan keberanian moral (nyali) untuk memancarkan suara moral kebenaran.
Banyak faktor yang memengaruhi seseorang mendegradasi keulamaan dan kecendekiawanannya. Di antaranya kedalaman keagamaan (keimanan) dan keilmuan, hasrat kuasa dan kenikmatan, serta kepentingan diri sendiri dan kelompok. Hanya mereka yang tidak haus akan hal itu yang mau mempertahankan hakikat keulamaan dan kecendekiaan, apa pun risikonya, jangankan harta dan kuasa, bahkan tak jarang nyawa pun jadi taruhannya.
Buya Syafi’i Ma’arif satu di antara ulama dan cendekia yang punya tekad kuat (proses) mempertahankan hakikat keulamaan dan kecendekiaan itu. Memang, pastilah tidak sempurna karena hakikat kemanusiaannya. Sebab dia bukanlah nabi, melainkan hanya manusia biasa, bahkan hanya ’Si Anak Kampoeng’.[1] Tapi tekad kuat, sikap dan tindaknya yang terus bertumbuh dalam proses mengejawantahkan hakikat keimanan (keulamaan) dan keilmuan (kecendekiaan), itu dalam kebersahajaan dan ketulusan, itulah kesempurnaannya (proses yang senantiasa bertumbuh lebih baik).
Dia bertumbuh sebagai ulama dan cendekiawan humaniora, dalam dunia tanpa batas (global). Suara dan seruannya selalu memiliki dan memotivasi ketajam berpikir untuk mengasah moral dan mencerdaskan kehidupan bangsanya dan dunia. Kendati secara fisik, dia telah memasuki usia emas (di atas 70 tahun), dia tetap fit dan bersemangat melahirkan gagasan (pemikiran) cemerlang dan baru, serta tajam melontarkan kritik.
Pancaran ketulusan hati, kebersahajaan dan kerendahhatiannya telah membuat gema suaranya begitu nyaring dan mencerahkan hati banyak orang. Kendati sebagian orang malah membencinya. Kerendahan hati itu, selain tampak dalam kesehariannya, juga terpancar tatkala dia menyampaikan Pidato Pengukuhan Guru Besarnya di IKIP Negeri Yogyakarta. Kala itu (1996), dia mengungkapkan, sudah 25 tahun menumpahkan perhatian terhadap sejarah, filsafat dan agama, melebihi perhatiannya terhadap cabang ilmu yang lain, namun dia sadar sepenuhnya, bahwa semakin dia memasuki ketiga wilayah itu semakin tidak ada tepinya.
Dia mengaku tidak jarang merasa sebagai orang asing di kawasan itu, kawasan yang seakan-akan tanpa batas. “Terasalah kekecilan diri ini berhadapan dengan luas dan dalamnya lautan jelajah yang hendak dilayari,” katanya kala itu.[2] Sebuah ungkapan kerendahan hati yang berguna sebagai guru kehidupan, bukan saja bagi dirinya, tetapi juga bagi banyak orang. Kerendahan hati yang sekaligus sebagai refleksi dari keimanannya sebagai seorang muslim.
Sumber: Ch. Robin Simanullang | Bio TokohIndonesia.com |
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment