Sultan Iskandar Muda sebagai penguasa Kerajaan Aceh Darussalam telah mendapat pengakuan bukan hanya dari rakyatnya, tetapi dari musuh-musuhnya dan bangsa asing di seluruh dunia. Sultan Iskandar Muda telah berhasil menyatukan seluruh wilayah semenanjung tanah Melayu di bawah panji kebesaran Kerajaan Aceh Darussalam. Dia juga telah berhasil menjalin hubungan diplomasi perdagangan dengan berbagai bangsa Asing, sehingga secara internasional Aceh dikenal sebagai sebuah negeri yang makmur. Dalam bidang ilmu pengetahuan, Kerajaan Aceh Darussalam benar-benar menjadi salah satu pusat ilmu pengetahuan dan tamaddun di Asia Tenggara yang paling banyak dikunjungi oleh para kaum pelajar dari seluruh dunia. Selama lebih kurang 30 tahun masa pemerintahannya, yaitu (1606-1636 M) dia telah berhasil membawa Kerajaan Aceh Darussalam ke atas puncak kejayaannya, hingga mencapai peringkat kelima di antara kerajaan Islam terbesar di dunia.
Sultan Iskandar Muda lahir tahun 1583. (Denys Lombard, 1991: 225-226). Ibunya keturunan Raja Darul Kamal (Malaka) bernama Puteri Raja Indra Bangsa, yang dikenal dengan nama Paduka Syah Alam, Puteri Sultan Alaidin Ri�ayat Syah (1589-1604). Sultan Ri�ayat Syah adalah putera Sultan Firman Syah bin Sultan Inayat Syah. (Hikayat Aceh :par.16,72). Sedangkan ayahnya Sultan Alauddin Mansur Syah putera dari Sultan Abdul Jalil bin Sultan �Alaiddin Ri�ayat Syah Al-Kahhar (1539-1571). Pada kurun berikutnya keturunan ayahnya inilah yang dikenal sebagai keturunan Raja Makota Alam I (Denys Lombard: 1991, 223). Masa kecilnya Iskandar Muda dijuluki Raja Zainal atau Raja Silan. yang pada masa bayinya sering disebut Tun Pangkat Darma Wangsa, (Zainuddin: 1957, 21) Sejak usia antara 4-5 tahun telah diajarkan berbagai ilmu pengetahuan. Ketika usianya mencapai baligh, ayahnya menyerahkan Iskandar Muda kepada Teungku Di Bitai (ulama turunan Arab dari Baitul Mukadis) dan diberi gelar Tun Pangkat Peurkasa Syah (Zainuddin, 1957: 27).
Dalam kurun berikutnya ayahnya Sultan Mansursyah mulai menerima kedatangan ulama-ulama terkenal dari Mekah, di antaranya Syekh Abdul Khair Ibnu Hajar dan Sekh Muhammad Jamani yang keduanya ahli dalam bidang ilmu fiqah, tasawuf dan ilmu falak. Selanjutnya hadir lagi seorang ulama yang sangat termasyhur dari Gujarat yakni Sekh Muhammad Djailani bin Hasan Ar-Raniry. Ketiga orang ulama ini telah banyak berjasa dalam mengajarkan dan mengilhami wawasan intelektual Iskandar Muda. Selain itu, dia juga rajin mendatangi dan bertanya kepada ulama-ulama lain yang berada di luar istana untuk mempejarai berbagai ilmu yang belum diketahuinya. Pada saat menjelang dewasa, karena Iskandar Muda memiliki keberanian yang luar biasa dibanding orang lain dalam hal menegakkan kebenaran, maka kawan-kawannya dari barisan pemuda memberinya gelar Peurkasa Alam yang belakangan juga dikenal dengan sebutan Makota (Meukuta) Alam.
Menurut sumber-sumber Eropa yang merujuk pada peristiwa gagalnya penyerbuan Don Martin Affonso di Aceh, menyebutkan bahwa Iskandar Muda dinobatkan sebagai Sultan pada tanggal 29 Juni 1606. Akan tetapi dalam naskah Bustanus-Salatin ditemukan keterangan bahwa dia diangkat sebagai Sultan pada 6 Zulhijjah 1015 H (awal April 1607 M). (Bustanus-Salatin II, XIII, 23). Tindakan pertama Sultan Iskandar Muda dalam mengawali karirnya adalah mengamankan golongan yang terdiri dari orang kaya yang sejak tahun 1604 telah bersekongkol menjadi oposisinya istana. Di sisi lain, para generasi muda memberikan dukungan yang sangat luar biasa. Karena rakyat Aceh terdiri dan beberapa kaum dan sukee, maka Sultan Iskandar Muda mengangkat dan menetapkan pimpinan adat pada masing-masing kelompok sukee yang ada. Selain untuk menyatukan mereka pengangkatan pimpinan adat ini dimaksudkan untuk mempermudah penerapan berbagai program pemerintahannya.
Setelah menetapkan orang-orang yang bertanggungjawab mengatur masing masing urusan tersebut, Sultan Iskandar Muda kemudian menyusun dan mengeluarkan berbagai qanun yang akan dijakdikan pegangan. Mengenai aturan yang menentukan martabat, hak dan kewajian segala Uleebalang serta pembesar kerajaan tertuang dalam sebuah qanun yang dikenal dengan adat meukota alam. Menurut naskah Adat Aceh, dalam menyusun qanun tersebut Sultan Iskandar Muda melibatkan para Syaikhul-Islam, Orang Kaya Sri Maharaja Lela, Penghulu Karkun Raja Setia Muda, Katibul Muluk Sri Indra Suara dan Sri Indra Muda beserta para perwiraperwira Balai Besar untuk membuat dan menyusun qanun (peraturan) yang sesuai dengan tatakerama dan maklumat Raja. Di dalamnya memuat sebanyak sembilan fasal. Pada bagian pertama sangat jelas menggambarkan watak kewibawaan Sultan sebagai penguasa, di mana di dalamnya menguraikan tentang perintah segala raja.
Selain itu, qanun yang dibuat pada masa Sultan Iskandar Muda juga dapat ditemukan dalam beberapa bagian dari naskah Tajus-Salatin yang ditulis oleh Bukhari Al-Jauhari. Bahkan beberapa bab dalam naskah ini secara khusus membahas secara manusiawi tentang bagaimana hubungan yang baik antara raja dengan rakyat termasuk masyarakat non muslim. Dalam naskah ini juga ditetapkan mengenai pegawai raja, pemimpin perang, penghulu dan uleebalang (Tajus-Salatin: 16). Dalam naskah Mahkota Raja-raja pada bagian ketiga secara khusus membahas tentang adat majelis raja-raja. Dari beberapa naskah kuno peninggalan abad ke-16 menunjukan bahwa Sultan Iskandar Muda memiliki kebijakan yang luar biasa dalam menetapkan berbagai qanun (peraturan) yang menjamin kelangsungan hidup kerajaan Aceh. Selain itu Sultan Iskandar Muda menetapkan qanun seuneubok lada yang memuat tentang berbagai peraturan mengenai pertanian dan peternakan. (Zainuddin. 1957: 103).
Berdasar laporan sesudah ekspedisi sida-sida Cheng Ho ke lautan Selatan bahwa kehadiran kapal-kapal Cina di Aceh merupakan bukti nyata bahwa bangsa Cina telah menjadikan daerah Aceh sebagai pemasok rempah rempah. (Groeneveldt, 1960: 85-88). Dalam sebuah peta laut Cina sebelum abad 17 ditemukan petunjuk jalan dari Banten ke Aceh melalui Barat Sumatera, juga melalui jalur lintas dari Aceh ke Malaka dan ke India. Selain itu, sebagai bukti yang kuat hubungan Cina dan Aceh dapat dilihat dari keberadaan Lonceng Cakra Donya yang dihadiahkan oleh Kaisar Cina kepada Sultan Aceh (Anonimous, 1988:i). Hubungan dagang Aceh dengan Siam sudah tercatat sejak masa kerajaan Pasai tahun 1520. Hubungan tersebut semakin meningkat pada masa kerajaan Aceh Darussalam di bawah Sultan Iskandar Muda. (Adat Aceh, 164b). Dalam Hikayat Aceh sarrga jelas disebutkan tentang adanya utusan dagang yang berasal dari Siam, Cina dan Campa pada masa Sultan Iskandar Muda. (Hikayat Aceh, Par. 214 � 223) dan (G.Coedes, Etats hindouises, 1964: 390).
Sultan Iskandar Muda pun menjalin hubungan dengan Kerajaan Turki lewat surat yang ditulis oleh Kadhi Malikul Adil Syekh Nuruddin Ar-Raniry. Surat itu selanjutnya disampaikan oleh utusan rombongan Aceh yang dikepalai oleh Pangiima Nyak Dum. (Zainuddin, 1957: 114-121) Sejak saat itu antara Kerajaan Aceh dan Turki terjalin hubungan yang sangat harmonis, bukan hanya dalam bidang perdagangan saja, tetapi juga dalam bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Sultan Iskandar Muda wafat pada tahun 1636 M dan makamnya terletak dalam komplek Kandang Mas yang dihancurkan Belanda. Yang ada sekarang merupakan duplikatnya hasil petunjuk Pocut Meurah isteri Sultan Mahmudsyah. Dia masih rnengingat letak Makam Sultan lskandar Muda, karena dia sering berziarah ke sana sambil menghitung langkahnya sebanyak 44 langkah dari pinggir Krueng Daroy. Pemerintah Republik Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 077/TK/Tahun 1993 tanggal 14 September 1993 telah mengangkat Sultan lskandar Muda sebagai Pahlawan Nasional. (Anonimous,1995:3).
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment