10 MOST LIKED

Generasi Pertama Masuk Islam

1 Generasi Pertama Masuk Islam



Nabi Muhammad SAW - Rasulullah



Keluarga Nabi :

- Khadijah binti Khuwailid - Istri Rasulullah

- Ali bin Abi Thalib - Sepupu Rasulullah

- Zaid bin Haritsah - Bekas Budak Nabi



Sahabat Nabi :

- Abu Bakar Ash Shiddik - Sahabat Rasulullah



Melalui Abu Bakar :

- Usman bin Affan - Sahabat

- Abdurrahman bin Auf - Sahabat

- Talhah bin Ubaidillah - Sahabat

- Saad bin Abi Waqqash - Sahabat

- Zubair bin Awwam - Sahabat

- Abu Ubaidah bin Djarrah





2 Sahabat yang Mendapat Khabar Gembira (Surga)



- Abu Bakar Ash Siddik - kawannya Nabi Ibrahim AS

- Umar bin Khattab - kawannya Nabi Nuh AS

- Utsman bin Affan - kawannya Nabi Muhammad SAW

- Ali bin Abi Thalib - kawannya Nabi Yahya AS

- Thalhah bin Ubaidillah - kawannya Nabi Daud AS

- Zubair bin Awwam - kawannya Nabi Ismail AS

- Saad bin Abi Waqqash - kawannya Nabi Sulaiman AS

- Said bin Zaid - kawannya Nabi Musa AS

- Abdurrahman bin Auf - kawannya Nabi Isa AS

- Abu ubaidah ibnul Djarrah - kawannya Nabi Idris AS
Read Post | comments

Pahlawan Revolusi Indonesia

Dengan membuat fitnah adanya sejumlah Jenderal TNI AD bekerjasama dengan satu negara luar hendak menggulingkan Presiden Soekarno, PKI melakukan aksinya pada malam 30 September 1965 atau subuh tanggal 1 Oktober 1965. Rencananya PKI hendak menculik dan membunuh tujuh Perwira Tinggi AD. Rencana jahat itu berjalan hampir sempurna. Hanya satu di antara perwira dimaksud yang berhasil lolos dari penculikan yakni Jenderal A.H. Nasution.



Ketujuh perwira yang berhasil diculik dan dibunuh itu besok harinya oleh tim yang dipimpin Soeharto (mantan Presiden RI) ditemukan terkubur di sumur tua di daerah Lubang Buaya. Jenazah ketujuh korban ditemukan penuh lumpur dan darah, dari bekas luka di tubuh para korban disimpulkan bahwa sebagian korban langsung mati tertembak sementara sebagian lagi lebih dulu disiksa kemudian baru ditembak.



Untuk menghormati jasa para pahlawan sekaligus untuk mengingatkan bangsa ini akan peristiwa penghianatan PKI tersebut, oleh pemerintah Orde Baru ditetapkanlah tanggal 1 Oktober setiap tahunnya sebagai hari Kesaktian Pancasila sekaligus sebagai hari libur nasional. Dan di daerah Lubang Buaya, Jakarta Timur di depan sumur tua tempat jenazah ditemukan, dibangun tugu dengan latar belakang patung ketujuh Pahlawan Revolusi tersebut. Tugu tersebut dinamai Tugu Kesaktian Pancasila.



1. Achmad Yani



Jenderal Anumerta Achmad Yani (1922-1965) Jenderal Anti Komunis. Jenderal Achmad Yani terkenal sebagai seorang tentara yang selalu berseberangan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Ketika menjabat Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad) atau yang sekarang menjadi Kepala Staf Angkatan Darat sejak tahun 1962, ia menolak keinginan PKI untuk membentuk Angkatan Kelima yang terdiri dari buruh dan tani.



Dengan fitnah bahwa sejumlah TNI AD telah bekerja sama dengan sebuah negara asing untuk menjatuhkan Presiden Soekarno, PKI lewat Gerakan Tiga Puluh September (G 30/S) menjadikan dirinya salah satu target yang akan diculik dan dibunuh di antara tujuh petinggi TNI AD lainnya.



Peristiwa yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 1965 dinihari itu akhirnya menewaskan enam dari tujuh Perwira Tinggi Angkatan Darat yang sebelumnya direncanakan PKI. Lubang Buaya lokasi dimana sumur tempat menyembunyikan jenazah para Pahlwawan Revolusi itu berada menjadi saksi bisu atas kekejaman komunis tersebut.



2. Sutoyo Siswomiharjo



Sutoyo Siswomiharjo (1922-1965) Gugur Dianiaya G-30-S/PKI Mayor Jenderal TNI Anumerta Sutoyo Siswomiharjo dianugerahi penghargaan sebagai Pahlawan Revolusi. Mantan IRKEHAD kelahiran Kebumen, 23 Agustus 1922, ini gugur di Lubang Buaya, Jakarta, 1 Oktober 1965 sebagai korban dalam peristiwa Gerakan 30 September/PKI. Beliau dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.



3. Suprapto



Letnan Jenderal Anumerta Suprapto (1920-1965) Menentang Komunis. Letnan Jenderal Anumerta Suprapto terkenal sebagai seorang tentara yang taat menjalankan ibadah agama dan tidak pernah setuju dengan ajaran komunis. Sehingga ketika menjabat Deputy II Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad), dialah salah satu perwira yang menolak usulan Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk membentuk Angkatan Kelima yang terdiri dari buruh tani.



Karena penolakan itu, pria kelahiran Purwokerto yang masuk tentara jamannya Tentara Keamanan Rakyat dan yang pernah menjadi ajudan Panglima Besar Jenderal Sudirman, ini selalu dimusuhi dan selalu mendapat rongrongan dari pihak PKI. Bahkan akhirnya dalam pemberontakan Gerakan Tiga Puluh September tahun 1965, ia salah satu perwira tinggi yang menjadi korban penculikan dan pembunuhan yang dilakukan oleh PKI.



Suprapto yang karena kesetiaanya pada Pancasila gugur sebagai Pahlawan Revolusi. Bersama enam perwira lainnya ia dimakamkan di Taman Makan Pahlawan Kalibata. Pangkatnya yang sebelumnya masih Mayor Jenderal kemudian dinaikkan satu tingkat menjadi Letnan Jenderal sebagai penghargaan atas jasa-jasanya.



4. S. Parman



Letnan Jenderal Anumerta S. Parman (1918-1965) Setia Pada Pancasila Kata orang bijak, fitnah lebih kejam daripada membunuh. Dan apa yang dilakukan oleh PKI pada tujuh perwira pada malam 30 September 1965 jauh lebih kejam lagi. Setelah memfitnah dengan menyebutkan bahwa para Jenderal itu telah bekerjasama dengan satu negara luar untuk menjatuhkan Presiden Soekarno, PKI juga menculik dan membunuh perwira-perwira tersebut secara sadis dan biadab. Letjen. Anumerta S. Parman yang waktu itu menjabat sebagai Asisten I Menteri/Panglima Angkatan Darat termasuk salah satu dari 7 perwira tersebut.



Pria kelahiran Wonosobo, Jawa Tengah ini merupakan perwira intelijen, sehingga banyak tahu tentang kegiatan rahasia PKI karena itulah dirinya termasuk salah satu di antara para perwira yang menolak rencana PKI untuk membentuk Angkatan Kelima yang terdiri dari buruh dan tani. Penolakan yang membuatnya dimusuhi dan menjadi korban pembunuhan PKI.



Perwira yang gugur sebagai Pahlawan Revolusi ini lahir di Wonosobo, Jawa Tengah, Tanggal 4 Agustus. S. Parman gugur sebagai Pahlawan Revolusi untuk mempertahankan Pancasila. Bersama enam perwira lainnya ia dimakamkan di Taman Makan Pahlawan Kalibata. Pangkatnya yang sebelumnya masih Mayor Jenderal kemudian dinaikkan satu tingkat menjadi Letnan Jenderal sebagai penghargaan atas jasa-jasanya.



5. D.I. Panjaitan



Mayor Jenderal Anumerta D.I. Panjaitan (1925- 1965) Pembongkar Konspirasi PKI � RRC Keberhasilan Mayor Jenderal Anumerta D.I. Panjaitan membongkar rahasia kiriman senjata dari Republik Rakyat Cina (RRC) untuk Partai Komunis Indonesia (PKI) serta penolakannya terhadap rencana PKI untuk membentuk Angkatan Kelima yang terdiri atas buruh dan tani, membuat dirinya masuk daftar salah satu perwira Angkatan Darat yang dimusuhi oleh PKI.



Kebencian PKI itu kemudian berujung pada aksi penculikan serta pembunuhan dirinya saat pemberontakan Gerakan 30 September 1965. Ketika menjabat Asisten IV Men/Pangad, ia mencatat prestasi tersendiri atas keberhasilannya membongkar rahasia pengiriman senjata dari Republik Rakyat Cina (RRC) untuk PKI. Dari situ diketahui bahwa senjata-senjata tersebut dimasukkan ke dalam peti-peti bahan bangunan yang akan dipakai dalam pembangunan gedung Conefo (Conference of the New Emerging Forces). Senjata-senjata itu diperlukan PKI yang sedang giatnya merencanakan pemberontakan.



Mayjen Anumerta D.I. Panjaitan yang malam dinihari itu merasa heran akan pemanggilan mendadak itu. Namun karena loyalitasnya pada pimpinan tertinggi militer, Presiden Soekarno, ia pun berangkat namun terlebih dahulu berpakaian resmi. Namun firasatnya yang tajam sepertinya merasakan bahaya yang sedang terjadi. Sebelum memasuki mobilnya, dengan berdiri di samping mobil ia lebih dulu memohon doa kepada Tuhan. Namun belum selesai menutup doanya, pasukan PKI sudah memberondongnya dengan peluru.

.

Jenazah Panjaitan ditemukan di Lubang Buaya, terkubur massal di dalam satu sumur tua yang tidak dipakai lagi bersama enam perwira lainnya. Ia gugur sebagai Pahlawan Revolusi, kemudian dimakamkan di Taman Makan Pahlawan Kalibata. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, pangkatnya yang sebelumnya masih Brigadir Jenderal kemudian dinaikkan menjadi Mayor Jenderal.



6. M.T. Haryono



Letnan Jenderal Anumerta M.T. Haryono (1924-1965) Letjen Anumerta M.T. Haryono kelahiran Surabaya, 20 Januari 1924, ini sebelumnya memperoleh pendidikan di ELS (setingkat Sekolah Dasar) kemudian diteruskan ke HBS (setingkat Sekolah Menengah Umum). Setamat dari HBS, ia sempat masuk Ika Dai Gakko (Sekolah Kedokteran masa pendudukan Jepang) di Jakarta, namun tidak sampai tamat.



Pada tanggal 1 Oktober 1965 dinihari, Letjen. TNI Anumerta M.T. Haryono bersama enam perwira lainnya yakni: Jend. TNI Anumerta Achmad Yani; Letjen. TNI Anumerta Suprapto; Letjen.TNI Anumerta S Parman; Mayjen. TNI Anumerta D.I. Panjaitan; Mayjen. TNI Anumerta Sutoyo S; dan Kapten CZI TNI Anumerta Pierre Tendean berhasil diculik kemudian dibunuh secara membabi buta dan jenazahnya dimasukkan ke sumur tua di Lubang Buaya tanpa prikemanusiaan.



M.T. Haryono yang tewas karena mempertahankan Pancasila itu gugur sebagai Pahlawan Revolusi. Ia kemudian dimakamkan di Taman Makan Pahlawan Kalibata. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, pangkatnya yang sebelumnya masih Mayor Jenderal kemudian dinaikkan satu tingkat menjadi Letnan Jenderal.



7. Pierre Tendean



Dengan bertameng alasan dipanggil oleh Panglima Tertinggi Presiden Soekarno, tujuh perwira tinggi TNI AD, pada malam 30 September atau pagi dinihari tanggal 1 Oktober 1965 hendak diculik oleh sekelompok berpakaian Pengawal Presiden yang kemudian diketahui adalah pasukan PKI. Enam perwira tinggi itu berhasil diculik, namun Jenderal A.H. Nasution berhasil lolos tapi puteri dan ajudannya menjadi korban peristiwa itu.



Kapten (Anumerta) Pierre Andreas Tendean (1939�1965) salah seorang korban pada peristiwa Gerakan 30 September dan merupakan pahlawan nasional Indonesia. Beliau adalah ajudan dari Jenderal Abdul Harris Nasution (Panglima ABRI) pada era Soekarno Abdul Harris Nasution lolos dari peristiwa penculikan tetapi anaknya, Ade Irma Suryani Nasution tewas tertembus peluru. Pierre Tendean sendiri ditangkap oleh segerombolan penculik dan dibunuh di Lubang Buaya. Beliau diculik karena dikira adalah Jenderal A.H.Nasution. Beliau dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.

Read Post | comments (1)

Panglima Besar Jendral Sudirman

Jenderal Sudirman yang berAgama Islam lahir di Bodas Karangjati, Purbalingga tanggal 24 Januari 1916 dan meninggal di Magelang, 29 Januari 1950. dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta. Pendidikan Fomal : Sekolah Taman Siswa, HIK Muhammadiyah, Solo (tidak tamat). Pendidikan Tentara : Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor, Pengalaman Pekerjaan : Guru di HIS Muhammadiyah di Cilacap, Pengalaman Organisasi : Kepanduan Hizbul Wathan. Jabatan di Militer : Panglima Besar TKR/TNI, dengan pangkat Jenderal, Panglima Divisi V/Banyumas, dengan pangkat Kolonel, Komandan Batalyon di Kroya, Tanda Penghormatan: Pahlawan Pembela Kemerdekaan



Jenderal Sudirman merupakan salah satu tokoh besar di antara sedikit orang lainnya yang pernah dilahirkan oleh suatu revolusi. Saat usianya masih 31 tahun ia sudah menjadi seorang jenderal. Meski menderita sakit paru-paru yang parah, ia tetap bergerilya melawan Belanda. Ia berlatar belakang seorang guru HIS Muhammadiyah di Cilacap dan giat di kepanduan Hizbul Wathan.



Ketika pendudukan Jepang, ia masuk tentara Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor yang begitu tamat pendidikan, langsung menjadi Komandan Batalyon di Kroya. Menjadi Panglima Divisi V/Banyumas sesudah TKR terbentuk, dan akhirnya terpilih menjadi Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia (Panglima TNI). Ia merupakan Pahlawan Pembela Kemerdekaan yang tidak perduli pada keadaan dirinya sendiri demi mempertahankan Republik Indonesia yang dicintainya. Ia tercatat sebagai Panglima sekaligus Jenderal pertama dan termuda Republik ini.



Sudirman merupakan salah satu pejuang dan pemimpin teladan bangsa ini. Pribadinya teguh pada prinsip dan keyakinan, selalu mengedepankan kepentingan masyarakat banyak dan bangsa di atas kepentingan pribadinya. Ia selalu konsisten dan konsekuen dalam membela kepentingan tanah air, bangsa, dan negara. Hal ini boleh dilihat ketika Agresi Militer II Belanda. Ia yang dalam keadaan lemah karena sakit tetap bertekad ikut terjun bergerilya walaupun harus ditandu. Dalam keadaan sakit, ia memimpin dan memberi semangat pada prajuritnya untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda. Itulah sebabnya kenapa ia disebutkan merupakan salah satu tokoh besar yang dilahirkan oleh revolusi negeri ini.



Sudirman yang dilahirkan di Bodas Karangjati, Purbalingga, 24 Januari 1916, ini memperoleh pendidikan formal dari Sekolah Taman Siswa, sebuah sekolah yang terkenal berjiwa nasional yang tinggi. Kemudian ia melanjut ke HIK (sekolah guru) Muhammadiyah, Solo tapi tidak sampai tamat. Sudirman muda yang terkenal disiplin dan giat di organisasi Pramuka Hizbul Wathan ini kemudian menjadi guru di sekolah HIS Muhammadiyah di Cilacap. Kedisiplinan, jiwa pendidik dan kepanduan itulah kemudian bekal pribadinya hingga bisa menjadi pemimpin tertinggi Angkatan Perang.



Sementara pendidikan militer diawalinya dengan mengikuti pendidikan tentara Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor. Setelah selesai pendidikan, ia diangkat menjadi Komandan Batalyon di Kroya. Ketika itu, pria yang memiliki sikap tegas ini sering memprotes tindakan tentara Jepang yang berbuat sewenang-wenang dan bertindak kasar terhadap anak buahnya. Karena sikap tegasnya itu, suatu kali dirinya hampir saja dibunuh oleh tentara Jepang.



Setelah Indonesia merdeka, dalam suatu pertempuran dengan pasukan Jepang, ia berhasil merebut senjata pasukan Jepang di Banyumas. Itulah jasa pertamanya sebagai tentara pasca kemerdekaan Indonesia. Sesudah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk, ia kemudian diangkat menjadi Panglima Divisi V/Banyumas dengan pangkat Kolonel. Dan melalui Konferensi TKR tanggal 2 Nopember 1945, ia terpilih menjadi Panglima Besar TKR/Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia.



Selanjutnya pada tanggal 18 Desember 1945, pangkat Jenderal diberikan padanya lewat pelantikan Presiden. Jadi ia memperoleh pangkat Jenderal tidak melalui Akademi Militer atau pendidikan tinggi lainnya sebagaimana lazimnya, tapi karena prestasinya. Ketika pasukan sekutu datang ke Indonesia dengan alasan untuk melucuti tentara Jepang, ternyata tentara Belanda ikut dibonceng. Karenanya, TKR akhirnya terlibat pertempuran dengan tentara sekutu. Demikianlah pada Desember 1945, pasukan TKR yang dipimpin oleh Sudirman terlibat pertempuran melawan tentara Inggris di Ambarawa. Dan pada tanggal 12 Desember tahun yang sama, dilancarkanlah serangan serentak terhadap semua kedudukan Inggris. Pertempuran yang berkobar selama lima hari itu akhirnya memaksa pasukan Inggris mengundurkan diri ke Semarang.



Pada saat pasukan Belanda kembali melakukan agresinya atau yang lebih dikenal dengan Agresi Militer II Belanda, Ibukota Negara RI berada di Yogyakarta sebab Kota Jakarta sebelumnya sudah dikuasai. Jenderal Sudirman yang saat itu berada di Yogyakarta sedang sakit. Keadaannya sangat lemah akibat paru-parunya yang hanya tingggal satu yang berfungsi. Dalam Agresi Militer II Belanda itu, Yogyakarta pun kemudian berhasil dikuasai Belanda. Bung Karno dan Bung Hatta serta beberapa anggota kabinet juga sudah ditawan. Melihat keadaan itu, walaupun Presiden Soekarno sebelumnya telah menganjurkannya untuk tetap tinggal dalam kota untuk melakukan perawatan. Namun anjuran itu tidak bisa dipenuhinya karena dorongan hatinya untuk melakukan perlawanan pada Belanda serta mengingat akan tanggungjawabnya sebagai pemimpin tentara.



Maka dengan ditandu, ia berangkat memimpin pasukan untuk melakukan perang gerilya. Kurang lebih selama tujuh bulan ia berpindah-pindah dari hutan yang satu ke hutan yang lain, dari gunung ke gunung dalam keadaan sakit dan lemah sekali sementara obat juga hampir-hampir tidak ada. Tapi kepada pasukannya ia selalu memberi semangat dan petunjuk seakan dia sendiri tidak merasakan penyakitnya. Namun akhirnya ia harus pulang dari medan gerilya, ia tidak bisa lagi memimpin Angkatan Perang secara langsung, tapi pemikirannya selalu dibutuhkan. Sudirman yang pada masa pendudukan Jepang menjadi anggota Badan Pengurus Makanan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Keresidenan Banyumas, ini pernah mendirikan koperasi untuk menolong rakyat dari bahaya kelaparan.



Jenderal yang mempunyai jiwa sosial yang tinggi, ini akhirnya harus meninggal pada usia yang masih relatif muda, 34 tahun. Pada tangal 29 Januari 1950, Panglima Besar ini meninggal dunia di Magelang dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta. Ia dinobatkan sebagai Pahlawan Pembela Kemerdekaan.
Read Post | comments

Haji Abdul Malik Karim Amrullah

Buaya Hamka seorang ulama, politisi dan sastrawan besar yang tersohor dan dihormati di kawasan Asia. HAMKA adalah akronim namanya Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah. Lahir di kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, 17 Februari 1908 dan meninggal di Jakarta 24 Juli 1981. Dia diberikan sebutan Buya, yaitu panggilan buat orang Minangkabau yang berasal dari kata abi, abuya dalam bahasa Arab, yang berarti ayah kami, atau seseorang yang dihormati. Ayahnya, Syeikh Abdul Karim bin Amrullah, disapa Haji Rasul, seorang pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah 1906. Hamka mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Maninjau sehingga Darjah Dua. Ketika usia mencapai 10 tahun, ayahnya telah mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di situ Hamka mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. Hamka juga pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjoparonto dan Ki Bagus Hadikusumo. Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Padangpanjang pada tahun 1929. Hamka kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padangpanjang dari tahun 1957 hingga tahun 1958. Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta. Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia, tetapi meletakkan jabatan itu ketika Sukarno menyuruhnya memilih antara menjadi pegawai negeri atau bergiat dalam politik Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi).



Hamka adalah seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca dan bertukar pikiran dengan tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Surjoparonoto, H Fachrudin, Ar Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang handal. Hamka juga aktif dalam gerakan Islam melalui pertubuhan Muhammadiyah. Beliau mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan khurafat, bidah, tarekat dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Tahun 1929, Hamka mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan 2 tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah Makassar. Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto tahun 1946. Beliau menyusun kembali pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah ke-31 di Yogyakarta tahun 1950. Tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai ketua umum Majlis Ulama Indonesia tapi beliau kemudian meletak jabatan tahun 1981 karena nasihatnya tak dipedulikan pemerintah Indonesia.



Kegiatan politik Hamka bermula pada tahun 1925 apabila beliau menjadi anggota parti politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang kemaraan kembali penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerila di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947, Hamka dilantik sebagai ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia. Beliau menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum 1955. Masyumi kemudiannya diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Dari tahun 1964 hingga tahun1966, Hamka telah dipenjarakan oleh Presiden Sukarno kerana dituduh pro- Malaysia. Semasa dipenjarakanlah maka beliau mula menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, Hamka dilantik sebagai ahli Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majlis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia. Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, Hamka merupakan seorang wartawan, penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun 1920-an lagi, Hamka menjadi wartawan beberapa buah akhbar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Tahun 1932, menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam.



Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5 jilid) dan antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan Singapura termasuklah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Kaabah dan Merantau ke Deli. Hamka pernah menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional dan antarabangsa seperti anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa, Universitas al-Azhar, 1958; Doktor Honoris Causa, Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974 dan gelaran Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia. Hamka telah pulang ke rahmatullah 24 Juli 1981 tapi jasa dan pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan agama Islam. Beliau bukan sahaja diterima sebagai seorang tokoh ulama dan sastrawan di negara kelahirannya, malah jasanya di seluruh Nusantara, juga Malaysia dan Singapura, turut dihargai.



Daftar Karya Buya Hamka

- Khatibul Ummah, Jilid 1-3. Ditulis dalam huruf Arab.

- Si Sabariah. (1928)

- Pembela Islam (Tarikh Saidina Abu Bakar Shiddiq),1929.

- Adat Minangkabau dan agama Islam (1929).

- Ringkasan tarikh Ummat Islam (1929).

- Kepentingan melakukan tabligh (1929).

- Hikmat Isra' dan Mikraj.

- Arkanul Islam (1932) di Makassar.

- Laila Majnun (1932) Balai Pustaka.

- Majallah 'Tentera' (4 nomor) 1932, di Makassar.

- Majallah Al-Mahdi (9 nomor) 1932 di Makassar.

- Mati mengandung malu (Salinan Al-Manfaluthi) 1934.

- Di Bawah Lindungan Ka'bah (1936) Pedoman Masyarakat, Balai Pustaka.

- Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1937), Pedoman Masyarakat, Balai Pustaka.

- Di Dalam Lembah Kehidupan 1939, Pedoman Masyarakat, Balai Pustaka.

- Merantau ke Deli (1940), Pedoman Masyarakat, Toko Buku Syarkawi.

- Margaretta Gauthier (terjemahan) 1940.

- Tuan Direktur 1939.

- Dijemput mamaknya,1939.

- Keadilan Ilahy 1939.

- Tashawwuf Modern 1939.

- Falsafah Hidup 1939.

- Lembaga Hidup 1940.

- Lembaga Budi 1940.

- Majallah 'SEMANGAT ISLAM' (Zaman Jepun 1943).

- Majallah 'MENARA' (Terbit di Padang Panjang), sesudah revolusi 1946.

- Negara Islam (1946).

- Islam dan Demokrasi,1946.

- Revolusi Pikiran,1946.

- Revolusi Agama,1946.

- Adat Minangkabau menghadapi Revolusi,1946.

- Dibantingkan ombak masyarakat,1946.

- Didalam Lembah cita-cita,1946.

- Sesudah naskah Renville,1947.

- Pidato Pembelaan Peristiwa Tiga Maret,1947.

- Menunggu Beduk berbunyi,1949 di Bukittinggi, Sedang Konperansi Meja Bundar.

- Ayahku,1950 di Jakarta.

- Mandi Cahaya di Tanah Suci. 1950.

- Mengembara Dilembah Nyl. 1950.

- Ditepi Sungai Dajlah. 1950.

- Kenangan-kenangan hidup 1,autobiografi sejak lahir 1908 sampai tahun 1950.

- Kenangan-kenangan hidup 2. Kenangan-kenangan hidup 3. Kenangan-kenangan hidup 4.

- Sejarah Ummat Islam Jilid 1,ditulis tahun 1938 diangsur sampai 1950.

- Sejarah Ummat Islam Jilid 2. Sejarah Ummat Islam Jilid 3. Sejarah Ummat Islam Jilid 4.

- Pedoman Mubaligh Islam,Cetakan 1 1937 ; Cetakan ke 2 tahun 1950.

- Pribadi,1950.

- Agama dan perempuan,1939.

- Muhammadiyah melalui 3 zaman,1946,di Padang Panjang.

- 1001 Soal Hidup (Kumpulan karangan dr Pedoman Masyarakat, dibukukan 1950).

- Pelajaran Agama Islam,1956.

- Perkembangan Tashawwuf dr abad ke abad,1952.

- Empat bulan di Amerika,1953 Jilid 1. Empat bulan di Amerika Jilid 2.

- Pengaruh ajaran Muhammad Abduh di Indonesia (Pidato di Kairo 1958), Doktor Honoris Causa.

- Soal jawab 1960, disalin dari karangan-karangan Majalah GEMA ISLAM.

- Dari Perbendaharaan Lama, 1963 dicetak M. Arbie, Medan; dan 1982 Pustaka Panjimas, Jakarta.

- Lembaga Hikmat,1953 oleh Bulan Bintang, Jakarta.

- Islam dan Kebatinan,1972; Bulan Bintang.

- Fakta dan Khayal Tuanku Rao, 1970.

- Sayid Jamaluddin Al-Afhany 1965, Bulan Bintang.

- Ekspansi Ideologi (Alghazwul Fikri), 1963, Bulan Bintang.

- Hak Asasi Manusia dipandang dari segi Islam 1968.

- Falsafah Ideologi Islam 1950 (sekembali dr Mekkah).

- Keadilan Sosial dalam Islam 1950 (sekembali dr Mekkah).

- Cita-cita kenegaraan dalam ajaran Islam (Kuliah umum) di Universiti Keristan 1970.

- Studi Islam 1973, diterbitkan oleh Panji Masyarakat.

- Himpunan Khutbah-khutbah.

- Urat Tunggang Pancasila.

- Doa-doa Rasulullah S.A.W,1974.

- Sejarah Islam di Sumatera.

- Bohong di Dunia.

- Muhammadiyah di Minangkabau 1975,(Menyambut Kongres Muhammadiyah di Padang).

- Pandangan Hidup Muslim,1960.

- Kedudukan perempuan dalam Islam,1973.

- Tafsir Al-Azhar [1] Juzu' 1-30, ditulis pada saat dipenjara



Aktivitas lainnya

- Memimpin Majalah Pedoman Masyarakat, 1936-1942

- Memimpin Majalah Panji Masyarakat dari tahun 1956

- Memimpin Majalah Mimbar Agama (Departemen Agama), 1950-1953
Read Post | comments

Pahlawan dan Pendiri Partai Masyumi

DR. Muhammad Natsir, atau pak Natsir begitu beliau biasa dipanggil, putra kelahiran Alahan Panjang, Kabupaten Solok, Sumatera Barat 17 Juli 1908, adalah sosok ulama pejuang yang komplit. Begitu banyak kisah dan pelajaran yang bisa dituliskan tentang beliau. Pak Natsir mampu menggabungkan tiga hal yang sangat jarang dimiliki para tokoh, pandai menulis, jago berpidato, dan menguasai ilmu manajemen dengan baik. Tapi sayang, kini pak Natsir nyaris diabaikan dan terlupa.



Belakangan pak Natsir diusulkan jadi pahlawan nasional, meskipun tidak jelas kelanjutannya tetapi Natsir telah jadi pahlawan sebelum diusulkan. Dia juga tokoh yang aktif berdakwah dengan jalan yang santun dan istiqomah. Natsir membawa wajah umat dan Islam tampil sebagaimana adanya, bermartabat dan rahmatan lil alamin.



Natsir adalah Pendiri dan pemimpin partai MASYUMI (Majlis Syuro Muslimin Indonesia). Dalam pemilu 1955, yang dianggap pemilu paling demokratis sepanjang sejarah bangsa, Masyumi meraih suara 21% (Masyumi memperoleh 58 kursi, sama besarnya dengan PNI. Sementara NU memperoleh 47 kursi dan PKI 39 kursi). Capaian suara Masyumi itu belum disamai, apalagi terlampaui, oleh partai Islam setelahnya, paling tidak hingga saat ini.



Dalam dunia internasional, Natsir adalah Anggota Dewan Pendiri Rabithah Alam Islami (World Moslem League), juga pernah menjadi sekjennya. Natsir adalah pemimpin dunia Islam yang amat dihormati�Sekretaris Jenderal Rabitah Alam Islami meminta hadirin berdiri saat pak Natsir memasuki ruang sidang organisasi dunia Islam itu. Natsir adalah anak bangsa Indonesia yang pernah menjadi tokoh Dunia Islam yang begitu dihormati sepanjang sejarah Indonesia�bahkan sampai sekarang. Kiprahnya memang tak pernah selesai menjadi buah pembicaraan.



Ketokohannya tidak hanya dikenal di Indonesia. Tapi juga di dunia Islam. Abdullah Al-�Aqil dalam bukunya, Min A�lami Al-Harakah wa Ad-Da�wah Al-Islamiyah Al-Mu�ashirah, menulis biografi singkat DR. Muhammad Natsir (satu-satunya dari Indonesia), beserta 70 tokoh dunia Islam lainnya dari dari berbagai negara. Diantara tokoh-tokoh itu ada Syaikh Umar Tilmisani, Syaikh Muhammad Al-Ghazali, Abul A�la Almaududi, Said Hawwa, Asy-Syahid Sayyid Quthb dan Abdullah Azam.



Sebuah majalah dari Kuwait pernah bertanya kepada pak Natsir tentang tokoh-tokoh yang berpengaruh pada diri dan perjuangannya. Jawabnya, �Haji Syaikh Muhammad Amin Al-Husaini, Imam Asy-Syahid Hasan Al-Banna dan Imam Hasan Al-Hudhaibi. Sedang tokoh-tokoh Indonesia adalah Syaikh Agus Salim dan Syaikh Ahmad Surkati.�



Atas segala jasa dan kegiatannya pada tahun 1957 Natsir memperoleh bintang kehormatan dari Republik Tunisia untuk perjuangannya membantu kemerdekaaan Negara-negara Islam di Afrika Utara. Tahun 1967 dia mendapat gelar Doktor HC dari Universitas Islam Libanon dalam bidang politik Islam, menerima Faisal Award dari kerajaan Saudi Arabia pada tahun 1980 untuk pengabdiannya pada Islam dan Dr HC dari Universitas Sains dan Teknologi Malaysia pada tahun 1991 dalam bidang pemikiran Islam.



Natsir memang termasuk tokoh langka. Ini diakui salah satunya George McT Kahin, Guru Besar Cornell University. �Saat pertama kali berjumpa dengannya di tahun 1948, pada waktu itu ia Menteri Penerangan RI, saya menjumpai sosok orang yang berpakaian paling camping (mended) di antara semua pejabat di Yogyakarta. Itulah satu-satunya pakaian yang dimilikinya, dan beberapa minggu kemudian staf yang bekerja di kantornya berpatungan membelikannya sehelai baju yang lebih pantas, mereka katakan pada saya, bahwa pemimpin mereka itu akan kelihatan seperti �menteri betulan�,� kata Kahin menceritakan sosok Natsir.



Muhammad Natsir, dalam tulisan lain ada yang menulisnya Mohammad Natsir/Mohd. Natsir/M. Natsir, memiliki gelar Datuk Sinaro Panjang. Natsir adalah orang yang berbicara penuh sopan santun, rendah hati dan bersuara lembut meskipun terhadap lawan-lawan politiknya. Ia juga sangat bersahaja dan kadang gemar bercanda dengan siapa saja yang menjadi teman bicaranya. Mendapat ijazah perguruan tinggi dari Fakultas Tarbiyah Bandung. Mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Ia juga menerima gelar kehormatan akademik dari Universitas kebangsaan malaysia (UKM). Menjadi Perdana Menteri dalam usia 42 tahun dan wafat 6 Februari 1993 di Jakarta.

Read Post | comments

Tokoh Jendral Penggagas AKABRI

Jenderal TNI AD Gatot Subroto lahir di Banyumas, 10 Oktober 1909 dan meninggal dunia: Jakarta, 11 Juni 1962 dimakamkan di Desa Mulyoharjo, Ungaran, Yogyakarta



Pendidikan Formal:

- Europeesche Lagere School (ELS) (dikeluarkan)

- Holands Inlandse School (HIS)

Pendidikan Militer:

- Sekolah militer di Magelang (1923)

- Pendidikan Tentara Pembela Tanah Air (Peta)

- Masuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang kemudian menjadi TNI

Pengalaman Pekerjaan:

- Pegawai Pemerintah (ditinggalkan)

Pengalaman Tugas:

- Anggota KNIL (Tentara Hindia Belanda),

- Komandan kompi di Sumpyuh, Banyumas

- Komandan batalyon

- Panglima Divisi II, Panglima Corps Polisi Militer, dan Gubernur Militer Daerah

Surakarta dan sekitarnya (1945-1950)

- Panglima Tentara & Teritorium (T &T) IV I Diponegoro

- Tahun 1953, mengundurkan diri dari dinas militer tapi diaktifkan kembali dan diangkat menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Darat.

Tanda Penghormatan:

- Pahlawan Kemerdekaan Nasional



Tentara yang aktif dalam tiga zaman ini pernah menjadi Tentara Hindia Belanda (KNIL) pada masa pendudukan Belanda, anggota Pembela Tanah Air (Peta) pada masa pendudukan Jepang dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) setelah kemerdekaan Indonesia serta turut menumpas PKI pada tahun 1948. Ia juga menjadi penggagas terbentuknya Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI). Berpendirian tegas dan memiliki solidaritas yang tinggi, merupakan ciri khas dari Jenderal Gatot Subroto. Pria lulusan Sekolah Militer Magelang masa pemerintahan Belanda, ini paling tidak bisa mentolerir setiap tindak kezaliman, walau oleh siapapun dan kapanpun. Maka tidak heran apabila pada masa mudanya sudah berani melawan anak Belanda. Bahkan ketika bertugas di militer, berani menentang tentara Belanda atau Jepang yang bertindak kasar. Namun sebaliknya, dia selalu menunjukkan solidaritas yang tinggi kepada kaum yang lemah dan tertindas. Dia tidak jarang membantu keluarga hukuman dengan menyisihkan sebagian dari gajinya.



Pria berkumis tebal yang lahir di Banyumas 10 Oktober 1909, ini sejak anak-anak sudah menunjukkan watak seorang pemimpin. Dia memiliki keberanian, ketegasan, tanggung jawab, dan berpantang akan kesewenangan. Pengalaman tidak manis pernah dialaminya ketika masih bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS). Karena berkelahi dengan seorang anak Belanda, dia akhirnya dikeluarkan dari sekolah tersebut. Kasus itu sudah cukup menunjukkan bahwa sejak kecil dirinya sudah memiliki sifat pemberani dan tegas. Di kala orang tidak ada yang berani menantang anak-anak Belanda yang merasa lebih tinggi derajatnya dari kaum pribumi, Gatot Subroto dengan tanpa gentar sedikitpun maju menantang. Dikeluarkan dari sekolah ELS dia kemudian masuk ke sekolah Holands Inlandse School (HIS). Dari sana, dia akhirnya menyelesaikan pendidikan formalnya. Namun setamat HIS, dia memilih tidak meneruskan pendidikannya ke sekolah yang lebih tinggi, tetapi bekerja sebagai pegawai. Namun pilihannya menjadi pegawai tersebut ternyata juga tidak memuaskan jiwanya. Dia kemudian keluar dari pekerjaanya dan masuk sekolah militer di Magelang pada tahun 1923. Setelah menyelesaikan pendidikan militer, Gatot pun menjadi anggota KNIL (Tentara Hindia Belanda) hingga akhir pendudukan Belanda di Indonesia.



Ketika Perang Dunia ke II bergolak, pasukan Belanda berhasil ditaklukkan pasukan Jepang. Indonesia yang sebelumnya merupakan daerah pendudukan Belanda beralih jadi kekuasaan pemerintah Kerajaan Jepang. Pada masa Pendudukan Jepang ini, Gatot pun langsung mengikuti pendidikan Tentara Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor yakni pendidikan dalam rangka perekrutan tentara pribumi oleh pemerintahan Jepang di Indonesia. Tamat dari pendidikan Peta, dia diangkat pemerintah Jepang menjadi komandan kompi di Sumpyuh, Banyumas dan tidak berapa lama kemudian dinaikkan menjadi komandan batalyon. Kesertaan Gatot Subroto menjadi anggota KNIL maupun Peta tidaklah mengindikasikan dirinya seorang kaki tangan pihak kolonial atau jiwa kebangsaannya yang rendah. Tapi hal itu hanyalah sebatas pekerjaan yang sudah lumrah zaman itu. Jiwa kebangsaan Gatot Subroto tetap tinggi. Di dalam menjalankan tugasnya sebagai tentara pendudukan, perlakuannya sering terlihat memihak kepada rakyat kecil. Perlakuan itu bahkan sering diketahui atasannya sehingga dia sering mendapat teguran. Bahkan karena begitu tebalnya perhatian dan solider terhadap kaumnya, sering sebagian dari gajinya disumbangkan untuk membantu keluarga orang hukuman yang ada di bawah pengawasannya. Begitu juga halnya pada masa pendudukan Jepang, dia sering menentang orang Jepang yang bertindak kasar terhadap anak buahnya.



Terhadap bawahannya, Gatot juga terkenal sebagai seorang pimpinan yang sangat perhatian. Namun walaupun begitu, sebagai militer, tanpa pandang bulu dia juga sangat tegas terhadap anak buahnya yang melanggar disiplin. Setelah kemerdekaan Indonesia, Gatot langsung masuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR), tentara bentukan pemerintah Indonesia sendiri dan merupakan tentara resmi RI yang dalam perjalanannya kemudian berganti nama menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Sejak kemerdekaan hingga pengakuan kedaulatan kemerdekaan RI atau pada masa Perang Kemerdekaan yakni antara tahun 1945-1950, dia dipercayai memegang beberapa jabatan penting. Pernah dipercaya menjadi Panglima Divisi II, Panglima Corps Polisi Militer, dan Gubernur Militer Daerah Surakarta dan sekitarnya. Bersamaan di saat dirinya menjabat Gubernur Militer Daerah Surakarta dan sekitarnya, pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) Madiun pun bergolak yakni pada bulan September 1948. Pemberontakan yang didalangi oleh Muso itu akhirnya berhasil diatasi dengan gemilang. Setelah banyak terjadi peristiwa dalam mempertahankan kemerdekaan dari agresi militer Belanda, pengakuan kedaulatan republik ini pun berhasil diperoleh. Pasca pengakuan kedaulatan itu, Gatot Subroto semakin dipercaya mengemban tugas yang lebih tinggi. Dia diangkat menjadi Panglima Tentara & Teritorium (T & T) IV I Diponegoro.



Namun karena sesuatu hal pada tahun 1953, dia sempat mengundurkan diri dari dinas militer. Namun tiga tahun kemudian dia diaktifkan kembali sekaligus diangkat menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Darat (Wakasad). Di kalangan militer, dia dikenal sebagai seorang pimpinan yang mempunyai perhatian besar terhadap pembinaan perwira muda. Menurutnya, salah satu cara untuk membina perwira muda adalah dengan menyatukan akademi militer setiap angkatan yakni Angkatan Darat, Laut, dan Udara, menjadi satu akademi. Gagasan tersebut akhirnya terwujud dengan terbentuknya Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI). Gatot Subroto akhirnya meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 11 Juni 1962, pada usia 55 tahun. Sang Jenderal ini dimakamkan di desa Mulyoharjo, Ungaran, Yogyakarta. Atas jasa-jasanya yang begitu besar bagi negara, seminggu setelah kematiannya, Jenderal Gatot Subroto dinobatkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional yang dikuatkan dengan SK Presiden RI No.222 Tahun 1962, tgl 18 Juni 1962.
Read Post | comments

Seniman Musik Pahlawan Indonesia

Wage Rudolf Supratman



Wage Rudolf Supratman (1903�1938) Penggubah Lagu Indonesia Raya Tingginya jiwa kebangsaan dari Wage Rudolf Supratman menuntun dirinya membuahkan karya bernilai tinggi yang di kemudian hari telah menjadi pembangkit semangat perjuangan pergerakan nasional. Semangat kebangsaan, rasa persatuan dan kehendak untuk merdeka dalam jiwanya dituangkan dalam lagu gubahannya Indonesia Raya. Lagu yang kemudian menjadi lagu kebangsaan negeri ini.



Penolakan jiwanya terhadap penjajahan, pernah juga dituliskannya dalam bukunya yang berjudul Perawan Desa. Namun sayang, Pahlawan nasional yang lahir 9 Maret 1903 ini sudah meninggal pada tanggal 17 Agustus 1938, sebelum mendengar lagu gubahannya dikumandangkan pada hari kemerdekaan negeri yang dicintainya.



Kilas balik dari lahirnya lagu Indonesia Raya sendiri adalah berawal dari ketika suatu kali terbacanya sebuah karangan dalam Majalah Timbul. Penulis karangan tersebut menentang ahli-ahli musik Indonesia untuk menciptakan lagu kebangsaan. Supratman yang sudah semakin kental jiwa kebangsaannya merasa tertantang. Sejak itu, ia mulai menggubah lagu.



Dan pada tahun 1924 lahirlah lagu Indonesia Raya. Ketika Kongres Pemuda, yakni kongres yang melahirkan Sumpah Pemuda dilangsungkan di Jakarta bulan Oktober tahun 1928, secara instrumentalia Supratman memperdengarkan lagu ciptaannya itu pada malam penutupan acara tanggal 28 Oktober 1928 tersebut. Disitulah saat pertama lagu tersebut dikumandangkan di depan umum. Lagu yang sangat menggugah jiwa patriotisme itupun dengan cepat terkenal di kalangan pergerakan nasional.



Sejak itu apabila partai-partai politik mengadakan kongres, lagu Indonesia Raya, lagu yang menjadi semacam perwujudan rasa persatuan dan kehendak untuk merdeka itu selalu dinyanyikan. Dan ketika Indonesia sudah memperoleh kemerdekaan, para pejuang-pejuang kemerdekaan menjadikan lagu Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan. Dan, Wage Rudolf Supratman yang meninggal dan dimakamkan di Surabaya tanggal 17 Agustus 1938, dikukuhkan menjadi Pahlawan Nasional atas segala jasa-jasanya untuk nusa dan bangsa tercinta ini.





Ismail Marzuki



Ismail Marzuki (1914-1958) Komponis Pejuang Legendaris Komponis pejuang dan maestro musik legendaris ini dianugerahi gelar pahlawan nasional oleh Presiden RI, dalam rangkaian Hari Pahlawan 10 November 2004 di Istana Negara. Dia dikenal sebagai pejuang dan tokoh seniman pencipta lagu bernuansa perjuangan yang dapat mendorong semangat membela kemerdekaan.



Ismail Marzuki kelahiran kampung Kwitang, Jakarta Pusat, pada tahun 1914 ini menciptakan sekitar 250 lagu. Karya-karyanya sampai hari ini masih sering terdengar, antara lain Juwita Malam, Sepasang Mata Bola, Selendang Sutera, Sabda Alam, dan Indonesia Pusaka. Komponis pelopor yang wafat 25 Mei 1958, ini telah melahirkan lagu-lagu kepahlawanan, yang menggugah jiwa nasionalisme. Maestro musik ini menyandang predikat komponis pejuang legendaris Indonesia.



Ismail Marzuki memang seorang komponis besar yang sampai saat ini boleh jadi belum ada yang dapat menggantikannya. Karena itu, memang sudah layak diberikan penghormatan padanya sebagai pahlawan nasional. Karya-karya Ismail Marzuki memang kaya, baik soal melodi maupun liriknya. Ia pun mencipta lagu dengan bermacam warna, salah satunya keroncong, di antaranya Bandung Selatan di Waktu Malam dan Selamat Datang Pahlawan Muda.



Read Post | comments (3)

Presiden dan Wakil Presiden Indonesia

Presiden



1. Soekarno 1945 - 1967

2. Soeharto 1967 - 1998

3. Baharuddin Jusuf Habibie 1998 - 1999

4. Abdurrahman Wahid 1999 - 2001

5. Megawati Soekarnoputri 2001 - 2004

6. Susilo Bambang Yudhoyono 2004 - 2014



Wakil Presiden



1. Mohammad Hatta 1945 - 1956

2. Hamengkubuwono IX 1973 - 1978

3. Adam Malik 1978 - 1983

4. Umar Wirahadikusuma 1983 - 1988

5. Soedarmono 1988 - 1993

6. Try Sutrisno 1993 - 1998

7. Baharuddin Jusuf Habibie 1988

8. Megawati Soekarnoputri 1999 - 2001

9. Hamzah Haz 2001 - 2004

10.Muhammad Jusuf Kalla 2004 - 2009

11.Boediono 2009 - 2014
Read Post | comments

Bapak Koperasi Indonesia

Dr. Mohammad Hatta (Bung Hatta) lahir pada tanggal 12 Agustus 1902 di Bukittinggi. Di kota kecil yang indah inilah Bung Hatta dibesarkan di lingkungan keluarga ibunya. Ayahnya, Haji Mohammad Djamil, meninggal ketika Hatta berusia delapan bulan. Dari ibunya, Hatta memiliki enam saudara perempuan. Ia adalah anak laki-laki satu-satunya. Sejak duduk di MULO di kota Padang, ia telah tertarik pada pergerakan. Sejak tahun 1916, timbul perkumpulan-perkumpulan pemuda seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Minahasa. dan Jong Ambon. Hatta masuk ke perkumpulan Jong Sumatranen Bond. Sebagai bendahara Jong Sumatranen Bond, ia menyadari pentingnya arti keuangan bagi hidupnya perkumpulan. Tetapi sumber keuangan baik dari iuran anggota maupun dari sumbangan luar hanya mungkin lancar kalau para anggotanya mempunyai rasa tanggung jawab dan disiplin. Rasa tanggung jawab dan disiplin selanjutnya menjadi ciri khas sifat-sifat Mohammad Hatta.



Pada tahun 1921 Hatta tiba di Negeri Belanda untuk belajar pada Handels Hoge School di Rotterdam. Ia mendaftar sebagai anggota Indische Vereniging. Tahun 1922, perkumpulan ini berganti nama menjadi Indonesische Vereniging. Perkumpulan yang menolak bekerja sama dengan Belanda itu kemudian berganti nama lagi menjadi Perhimpunan Indonesia (PI). Hatta juga mengusahakan agar majalah perkumpulan, Hindia Poetra, terbit secara teratur sebagai dasar pengikat antaranggota. Pada tahun 1924 majalah ini berganti nama menjadi Indonesia Merdeka. Hatta lulus dalam ujian handels economie (ekonomi perdagangan) pada tahun 1923. Semula dia bermaksud menempuh ujian doctoral di bidang ilmu ekonomi pada akhir tahun 1925. Karena itu pada tahun 1924 dia non-aktif dalam PI. Tetapi waktu itu dibuka jurusan baru, yaitu hukum negara dan hukum administratif. Hatta pun memasuki jurusan itu terdorong oleh minatnya yang besar di bidang politik. Perpanjangan rencana studinya itu memungkinkan Hatta terpilih menjadi Ketua PI pada tanggal 17 Januari 1926. Pada kesempatan itu, ia mengucapkan pidato inaugurasi yang berjudul "Economische Wereldbouw en Machtstegenstellingen"-- Struktur Ekonomi Dunia dan Pertentangan kekuasaan. Dia mencoba menganalisis struktur ekonomi dunia dan berdasarkan itu, menunjuk landasan kebijaksanaan nonkooperatif.



Sejak tahun 1926 sampai 1930, berturut-turut Hatta dipilih menjadi Ketua PI. Di bawah kepemimpinannya, PI berkembang dari perkumpulan mahasiswa biasa menjadi organisasi politik yang mempengaruhi jalannya politik rakyat di Indonesia. Sehingga akhirnya diakui oleh Pemufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPI) PI sebagai pos depan dari pergerakan nasional yang berada di Eropa. PI melakukan propaganda aktif di luar negeri Belanda. Hampir setiap kongres intemasional di Eropa dimasukinya, dan menerima perkumpulan ini. Selama itu, hampir selalu Hatta sendiri yang memimpin delegasi. Pada tahun 1926, dengan tujuan memperkenalkan nama "Indonesia", Hatta memimpin delegasi ke Kongres Demokrasi Intemasional untuk Perdamaian di Bierville, Prancis. Tanpa banyak oposisi, "Indonesia" secara resmi diakui oleh kongres. Nama "Indonesia" untuk menyebutkan wilayah Hindia Belanda ketika itu telah benar-benar dikenal kalangan organisasi-organisasi internasional. Hatta dan pergerakan nasional Indonesia mendapat pengalaman penting di Liga Menentang Imperialisme dan Penindasan Kolonial, suatu kongres internasional yang diadakan di Brussels tanggal 10-15 Pebruari 1927. Di kongres ini Hatta berkenalan dengan pemimpin-pemimpin pergerakan buruh seperti G. Ledebour dan Edo Fimmen, serta tokoh-tokoh yang kemudian menjadi negarawan-negarawan di Asia dan Afrika seperti Jawaharlal Nehru (India), Hafiz Ramadhan Bey (Mesir), dan Senghor (Afrika). Persahabatan pribadinya dengan Nehru mulai dirintis sejak saat itu. Pada tahun 1927 itu pula, Hatta dan Nehru diundang untuk memberikan ceramah bagi "Liga Wanita Internasional untuk Perdamaian dan Kebebasan" di Gland, Swiss. Judul ceramah Hatta L 'Indonesie et son Probleme de I' Independence (Indonesia dan Persoalan Kemerdekaan).



Bersama dengan Nazir St. Pamontjak, Ali Sastroamidjojo, dan Abdul Madjid Djojoadiningrat, Hatta dipenjara selama lima setengah bulan. Pada tanggal 22 Maret 1928, mahkamah pengadilan di Den Haag membebaskan keempatnya dari segala tuduhan. Dalam sidang yang bersejarah itu, Hatta mengemukakan pidato pembelaan yang mengagumkan, yang kemudian diterbitkan sebagai brosur dengan nama "Indonesia Vrij", dan kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai buku dengan judul Indonesia Merdeka. Antara tahun 1930-1931, Hatta memusatkan diri kepada studinya serta penulisan karangan untuk majalah Daulat Ra�jat dan kadang-kadang De Socialist. Ia merencanakan untuk mengakhiri studinya pada pertengahan tahun 1932. Kembali ke Tanah Air Pada bulan Juli 1932, Hatta berhasil menyelesaikan studinya di Negeri Belanda dan sebulan kemudian ia tiba di Jakarta. Antara akhir tahun 1932 dan 1933, kesibukan utama Hatta adalah menulis berbagai artikel politik dan ekonomi untuk Daulat Ra�jat dan melakukan berbagai kegiatan politik, terutama pendidikan kader-kader politik pada Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Prinsip non-kooperasi selalu ditekankan kepada kader-kadernya.



Reaksi Hatta yang keras terhadap sikap Soekarno sehubungan dengan penahannya oleh Pemerintah Kolonial Belanda, yang berakhir dengan pembuangan Soekarno ke Ende, Flores, terlihat pada tulisan-tulisannya di Daulat Ra�jat, yang berjudul "Soekarno Ditahan" (10 Agustus 1933), "Tragedi Soekarno" (30 Nopember 1933), dan "Sikap Pemimpin" (10 Desember 1933). Pada bulan Pebruari 1934, setelah Soekarno dibuang ke Ende, Pemerintah Kolonial Belanda mengalihkan perhatiannya kepada Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Para pimpinan Partai Pendidikan Nasional Indonesia ditahan dan kemudian dibuang ke Boven Digoel. Seluruhnya berjumlah tujuh orang. Dari kantor Jakarta adalah Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Bondan. Dari kantor Bandung: Maskun Sumadiredja, Burhanuddin, Soeka, dan Murwoto. Sebelum ke Digoel, mereka dipenjara selama hampir setahun di penjara Glodok dan Cipinang, Jakarta. Di penjara Glodok, Hatta menulis buku berjudul �Krisis Ekonomi dan Kapitalisme�. Masa Pembuangan



Pada bulan Januari 1935, Hatta dan kawan-kawannya tiba di Tanah Merah, Boven Digoel (Papua). Kepala pemerintahan di sana, Kapten van Langen, menawarkan dua pilihan: bekerja untuk pemerintahan kolonial dengan upah 40 sen sehari dengan harapan nanti akan dikirim pulang ke daerah asal, atau menjadi buangan dengan menerima bahan makanan in natura, dengan tiada harapan akan dipulangkan ke daerah asal. Hatta menjawab, bila dia mau bekerja untuk pemerintah kolonial waktu dia masih di Jakarta, pasti telah menjadi orang besar dengan gaji besar pula. Maka tak perlulah dia ke Tanah Merah untuk menjadi kuli dengan gaji 40 sen sehari. Dalam pembuangan, Hatta secara teratur menulis artikel-artikel untuk surat kabar Pemandangan. Honorariumnya cukup untuk biaya hidup di Tanah Merah dan dia dapat pula membantu kawan-kawannya. Rumahnya di Digoel dipenuhi oleh bukubukunya yang khusus dibawa dari Jakarta sebanyak 16 peti. Dengan demikian, Hatta mempunyai cukup banyak bahan untuk memberikan pelajaran kepada kawankawannya di pembuangan mengenai ilmu ekonomi, sejarah, dan filsafat. Kumpulan bahan-bahan pelajaran itu di kemudian hari dibukukan dengan judul-judul antara lain, "Pengantar ke Jalan llmu dan Pengetahuan" dan "Alam Pikiran Yunani." (empat jilid). Pada bulan Desember 1935, Kapten Wiarda, pengganti van Langen, memberitahukan bahwa tempat pembuangan Hatta dan Sjahrir dipindah ke Bandaneira. Pada Januari 1936 keduanya berangkat ke Bandaneira. Mereka bertemu Dr. Tjipto Mangunkusumo dan Mr. Iwa Kusumasumantri. Di Bandaneira, Hatta dan Sjahrir dapat bergaul bebas dengan penduduk setempat dan memberi pelajaran kepada anak-anak setempat dalam bidang sejarah, tatabuku, politik, dan lain-Iain.



Pada tanggal 3 Pebruari 1942, Hatta dan Sjahrir dibawa ke Sukabumi. Pada tanggal 9 Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang, dan pada tanggal 22 Maret 1942 Hatta dan Sjahrir dibawa ke Jakarta. Pada masa pendudukan Jepang, Hatta diminta untuk bekerja sama sebagai penasehat. Hatta mengatakan tentang cita-cita bangsa Indonesia untuk merdeka, dan dia bertanya, apakah Jepang akan menjajah Indonesia? Kepala pemerintahan harian sementara, Mayor Jenderal Harada. menjawab bahwa Jepang tidak akan menjajah. Namun Hatta mengetahui, bahwa Kemerdekaan Indonesia dalam pemahaman Jepang berbeda dengan pengertiannya sendiri. Pengakuan Indonesia Merdeka oleh Jepang perlu bagi Hatta sebagai senjata terhadap Sekutu kelak. Bila Jepang yang fasis itu mau mengakui, apakah sekutu yang demokratis tidak akan mau? Karena itulah maka Jepang selalu didesaknya untuk memberi pengakuan tersebut, yang baru diperoleh pada bulan September 1944. Selama masa pendudukan Jepang, Hatta tidak banyak bicara. Namun pidato yang diucapkan di Lapangan Ikada (sekarang Lapangan Merdeka) pada tanggaI 8 Desember 1942 menggemparkan banyak kalangan. Ia mengatakan, �Indonesia terlepas dari penjajahan imperialisme Belanda. Dan oleh karena itu ia tak ingin menjadi jajahan kembali. Tua dan muda merasakan ini setajam-tajamnya. Bagi pemuda Indonesia, ia Iebih suka melihat Indonesia tenggelam ke dalam lautan daripada mempunyainya sebagai jajahan orang kembali."



Pada awal Agustus 1945, Panitia Penyidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia diganti dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, dengan Soekamo sebagai Ketua dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Ketua. Anggotanya terdiri dari wakil-wakil daerah di seluruh Indonesia, sembilan dari Pulau Jawa dan dua belas orang dari luar Pulau Jawa. Pada tanggal 16 Agustus 1945 malam, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mempersiapkan proklamasi dalam rapat di rumah Admiral Maeda (JI Imam Bonjol, sekarang), yang berakhir pada pukul 03.00 pagi keesokan harinya. Panitia kecil yang terdiri dari 5 orang, yaitu Soekamo, Hatta, Soebardjo, Soekarni, dan Sayuti Malik memisahkan diri ke suatu ruangan untuk menyusun teks proklamasi kemerdekaan. Soekarno meminta Hatta menyusun teks proklamasi yang ringkas. Hatta menyarankan agar Soekarno yang menuliskan kata-kata yang didiktekannya. Setelah pekerjaan itu selesai. mereka membawanya ke ruang tengah, tempat para anggota lainnya menanti. Soekarni mengusulkan agar naskah proklamasi tersebut ditandatangi oleh dua orang saja, Soekarno dan Mohammad Hatta. Semua yang hadir menyambut dengan bertepuk tangan riuh. Tangal 17 Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia, tepat pada jam 10.00 pagi di Jalan Pengangsaan Timur 56 Jakarta. Tanggal 18 Agustus 1945, Ir Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia dan Drs. Mohammad Hatta diangkat menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia. Soekardjo Wijopranoto mengemukakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden harus merupakan satu dwitunggal.



Indonesia harus mempertahankan kemerdekaannya dari usaha Pemerintah Belanda yang ingin menjajah kembali. Pemerintah Republik Indonesia pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Dua kali perundingan dengan Belanda menghasilkan Perjanjian Linggarjati dan Perjanjian Reville, tetapi selalu berakhir dengan kegagalan akibat kecurangan pihak Belanda. Untuk mencari dukungan luar negeri, pada Juli I947, Bung Hatta pergi ke India menemui Jawaharlal Nehru dan Mahatma Gandhi. dengan menyamar sebagai kopilot bernama Abdullah (Pilot pesawat adalah Biju Patnaik yang kemudian menjadi Menteri Baja India di masa Pemerintah Perdana Menteri Morarji Desai). Nehru berjanji, India dapat membantu Indonesia dengan protes dan resolusi kepada PBB agar Belanda dihukum. Kesukaran dan ancaman yang dihadapi silih berganti. September 1948 PKI melakukan pemberontakan. 19 Desember 1948, Belanda kembali melancarkan agresi kedua. Presiden dan Wapres ditawan dan diasingkan ke Bangka. Namun perjuangan Rakyat Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan terus berkobar di mana-mana. Panglima Besar Soediman melanjutkan memimpin perjuangan bersenjata. Pada tanggal 27 Desember 1949 di Den Haag, Bung Hatta yang mengetuai Delegasi Indonesia dalam Konperensi Meja Bundar untuk menerima pengakuan kedaulatan Indonesia dari Ratu Juliana.



Bung Hatta juga menjadi Perdana Menteri waktu Negara Republik Indonesia Serikat berdiri. Selanjutnya setelah RIS menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bung Hatta kembali menjadi Wakil Presiden. Periode Tahun 1950-1956 Selama menjadi Wakil Presiden, Bung Hatta tetap aktif memberikan ceramahceramah di berbagai lembaga pendidikan tinggi. Dia juga tetap menulis berbagai

karangan dan buku-buku ilmiah di bidang ekonomi dan koperasi. Dia juga aktif membimbing gerakan koperasi untuk melaksanakan cita-cita dalam konsepsi ekonominya. Tanggal 12 Juli 1951, Bung Hatta mengucapkan pidato radio untuk menyambut Hari Koperasi di Indonesia. Karena besamya aktivitas Bung Hatta dalam gerakan koperasi, maka pada tanggal 17 Juli 1953 dia diangkat sebagai Bapak Koperasi Indonesia pada Kongres Koperasi Indonesia di Bandung. Pikiran-pikiran Bung Hatta mengenai koperasi antara lain dituangkan dalam bukunya yang berjudul Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun (1971). Pada tahun 1955, Bung Hatta mengumumkan bahwa apabila parlemen dan konsituante pilihan rakyat sudah terbentuk, ia akan mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden. Niatnya untuk mengundurkan diri itu diberitahukannya melalui sepucuk surat kepada ketua Perlemen, Mr. Sartono. Tembusan surat dikirimkan kepada Presiden Soekarno. Setelah Konstituante dibuka secara resmi oleh Presiden, Wakil Presiden Hatta mengemukakan kepada Ketua Parlemen bahwa pada tanggal l Desember 1956 ia akan meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden RI. Presiden Soekarno berusaha mencegahnya, tetapi Bung Hatta tetap pada pendiriannya. Pada tangal 27 Nopember 1956, ia memperoleh gelar kehormatan akademis yaitu Doctor Honoris Causa dalam ilmu hukum dari Universitas Gajah Mada di Yoyakarta. Pada kesempatan itu, Bung Hatta mengucapkan pidato pengukuhan yang berjudul �Lampau dan Datang�.



Sesudah Bung Hatta meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden RI, beberapa gelar akademis juga diperolehnya dari berbagai perguruan tinggi. Universitas Padjadjaran di Bandung mengukuhkan Bung Hatta sebagai guru besar dalam ilmu politik perekonomian. Universitas Hasanuddin di Ujung Pandang memberikan gelar Doctor Honoris Causa dalam bidang Ekonomi. Universitas Indonesia memberikan gelar Doctor Honoris Causa di bidang ilmu hukum. Pidato pengukuhan Bung Hatta berjudul �Menuju Negara Hukum�. Pada tahun 1960 Bung Hatta menulis "Demokrasi Kita" dalam majalah Pandji Masyarakat. Sebuah tulisan yang terkenal karena menonjolkan pandangan dan pikiran Bung Hatta mengenai perkembangan demokrasi di Indonesia waktu itu. Dalam masa pemerintahan Orde Baru, Bung Hatta lebih merupakan negarawan sesepuh bagi bangsanya daripada seorang politikus. Hatta menikah dengan Rahmi Rachim pada tanggal l8 Nopember 1945 di desa Megamendung, Bogor, Jawa Barat. Mereka mempunyai tiga orang putri, yaitu Meutia Farida, Gemala Rabi'ah, dan Halida Nuriah. Dua orang putrinya yang tertua telah menikah. Yang pertama dengan Dr. Sri-Edi Swasono dan yang kedua dengan Drs. Mohammad Chalil Baridjambek. Hatta sempat menyaksikan kelahiran dua cucunya,

yaitu Sri Juwita Hanum Swasono dan Mohamad Athar Baridjambek. Pada tanggal 15 Agustus 1972, Presiden Soeharto menyampaikan kepada Bung Hatta anugerah negara berupa Tanda Kehormatan tertinggi "Bintang Republik Indonesia Kelas I" pada suatu upacara kenegaraan di Istana Negara. Bung Hatta, Proklamator Kemerdekaan dan Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia, wafat pada tanggal 14 Maret 1980 di Rumah Sakit Dr Tjipto Mangunkusumo, Jakarta, pada usia 77 tahun dan dikebumikan di TPU Tanah Kusir pada tanggal 15 Maret 1980.
Read Post | comments

Proklamator Kemerdekaan Indonesia

Soekarno



Sang Proklamator SOEKARNO (Bung Karno), Presiden Pertama Republik Indonesia, 1945-1966, menganut ideologi pembangunan �berdiri di atas kaki sendiri�. Proklamator yang lahir di Blitar, Jatim, 6 Juni 1901 ini dengan gagah mengejek Amerika Serikat dan negara kapitalis lainnya: �Go to hell with your aid.� Persetan dengan bantuan mu. Ia mengajak negara-negara sedang berkembang (baru merdeka) bersatu. Pemimpin Besar Revolusi ini juga berhasil menggelorakan semangat revolusi bagi bangsanya, serta menjaga keutuhan NKRI.



Itulah Bung Karno yang berhasil menggelorakan semangat revolusi dan mengajak berdiri di atas kaki sendiri bagi bangsanya, walaupun belum sempat berhasil membawa rakyatnya dalam kehidupan yang sejahtera. Konsep �berdiri di atas kaki sendiri� memang belum sampai ke tujuan tetapi setidaknya berhasil memberikan kebanggaan pada eksistensi bangsa. Daripada berdiri di atas utang luar negeri yang terbukti menghadirkan ketergantungan dan ketidakberdayaan (noekolonialisme).



Setelah melalui perjuangan yang cukup panjang, Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Sebelumnya, ia juga berhasil merumuskan Pancasila yang kemudian menjadi dasar (ideologi) Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ia berupaya mempersatukan nusantara. Bahkan ia berusaha menghimpun bangsa bangsa di Asia, Afrika, dan Amerika Latin dengan Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955 yang kemudian berkembang menjadi Gerakan Non Blok.



Orator Ulung. Presiden pertama RI itu pun dikenal sebagai orator yang ulung, yang dapat berpidato secara amat berapi-api tentang revolusi nasional, neokolonialisme dan imperialisme. Ia juga amat percaya pada kekuatan massa, kekuatan rakyat. �Aku ini bukan apa-apa kalau tanpa rakyat. Aku besar karena rakyat, aku berjuang karena rakyat dan aku penyambung lidah rakyat,� kata Bung Karno, dalam karyanya �Menggali Api Pancasila�. Suatu ungkapan yang cukup jujur dari seorang orator besar.



Gejala berbahasa Bung Karno merupakan fenomena langka yang mengundang kagum banyak orang. Kemahirannya menggunakan bahasa dengan segala macam gayanya berhubungan dengan kepribadiannya. Hal ini tercermin dalam autobiografi, karangan dan buku sejarah yang memuat sepak terjangnya. Pada 17 Mei 1956. Bung Karno mendapat kehormatan menyampaikan pidato di depan Kongres Amerika Serikat. Sebagaimana dilaporkan New York Times hari berikutnya, dalam pidato itu ia gigih menyerang kolonialisme.



�Perjuangan dan pengorbanan yang telah kami lakukan demi pembebasan rakyat kami dari belenggu kolonialisme, telah berlangsung dari generasi ke generasi selama berabad-abad. Tetapi, perjuangan itu masih belum selesai. Bagaimana perjuangan itu bisa dikatakan selesai jika jutaan manusia di Asia maupun Afrika masih berada di bawah dominasi kolonial, masih belum bisa menikmati kemerdekaan?� pekik Soekarno ketika itu.



Hebatnya, meskipun pidato itu dengan keras menentang kolonialisme dan imperialisme, serta cukup kritis terhadap negara-negara Barat, ia mendapat sambutan luar biasa di Amerika Serikat (AS). Pidato itu menunjukkan konsistensi pemikiran dan sikap-sikap Bung Karno yang sejak masa mudanya antikolonialisme. Terutama pada periode 1926-1933, semangat antikolonialisme dan anti-imperialisme itu sudah jelas dikedepankannya.





Mohammad Hatta



Sang Proklamator Mohammad Hatta lahir pada tanggal 12 Agustus 1902 di Bukittinggi. Di kota kecil yang indah inilah Bung Hatta dibesarkan di lingkungan keluarga ibunya. Ayahnya, Haji Mohammad Djamil, meninggal ketika Hatta berusia delapan bulan. Dari ibunya, Hatta memiliki enam saudara perempuan. Ia adalah anak laki-laki satu-satunya. Tangal 17 Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia, tepat pada jam 10.00 pagi di Jalan Pengangsaan Timur 56 Jakarta. Tanggal 18 Agustus 1945, Ir Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia dan Drs. Mohammad Hatta diangkat menjadi wakilnya periode tahun 1950-1956



Selama menjadi Wakil Presiden, Bung Hatta tetap aktif memberikan ceramah-ceramah di berbagai lembaga pendidikan tinggi. Dia juga tetap menulis berbagai karangan dan buku-buku ilmiah di bidang ekonomi dan koperasi. Dia juga aktif membimbing gerakan koperasi untuk melaksanakan cita-cita dalam konsepsi ekonominya. Tanggal 12 Juli 1951, Bung Hatta mengucapkan pidato radio untuk menyambut Hari Koperasi di Indonesia. Karena besamya aktivitas Bung Hatta dalam gerakan koperasi, maka pada tanggal 17 Juli 1953 dia diangkat sebagai Bapak Koperasi Indonesia pada Kongres Koperasi Indonesia di Bandung.



Pikiran-pikiran Bung Hatta mengenai koperasi antara lain dituangkan dalam bukunya yang berjudul Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun (1971). Pada tangal 27 Nopember 1956, ia memperoleh gelar kehormatan akademis yaitu Doctor Honoris Causa dalam ilmu hukum dari Universitas Gajah Mada di Yoyakarta. Pada kesempatan itu, Bung Hatta mengucapkan pidato pengukuhan yang berjudul �Lampau dan Datang�. Sesudah Bung Hatta meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden RI, beberapa gelar akademis juga diperolehnya dari berbagai perguruan tinggi.



Universitas Padjadjaran di Bandung mengukuhkan Bung Hatta sebagai guru besar dalam ilmu politik perekonomian. Universitas Hasanuddin di Ujung Pandang memberikan gelar Doctor Honoris Causa dalam bidang Ekonomi. Universitas Indonesia memberikan gelar Doctor Honoris Causa di bidang ilmu hukum. Pidato pengukuhan Bung Hatta berjudul �Menuju Negara Hukum�. Pada Bung Hatta, Proklamator Kemerdekaan dan Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia, wafat pada tanggal 14 Maret 1980 di Rumah Sakit Dr Tjipto Mangunkusumo, Jakarta, pada usia 77 tahun dan dikebumikan di TPU Tanah Kusir pada tanggal 15 Maret 1980.

Read Post | comments

Presiden Pertama Republik Indonesia

"Aku adalah putra seorang ibu Bali dari kasta Brahmana. Ibuku, Idaju, berasal dari kasta tinggi. Raja terakhir Singaraja adalah paman ibuku. Bapakku dari Jawa. Nama lengkapnya adalah Raden Sukemi Sosrodihardjo. Raden adalah gelar bangsawan yang berarti "Tuan". Bapak adalah keturunan Sultan Kediri... Apakah itu kebetulan atau suatu pertanda bahwa aku dilahirkan dalam kelas yang memerintah, akan tetapi apa pun kelahiranku atau suratan takdir, pengabdian bagi kemerdekaan rakyatku bukan suatu keputusan tiba-tiba. Akulah ahli-warisnya � Sejak kecil, Soekarno sudah menyimpan mitos tentang diri-nya sebagai pejuang besar dan pembaru bagi bangsanya. Ibunya, Ida Nyoman Rai, menceritakan makna kelahiran di waktu fajar . "Kelak engkau akan menjadi orang yang mulia, engkau akan menjadi pemimpin dari rakyat kita, karena ibu melahirkanmu jam setengah enam pagi di saat fajar mulai menyingsing. Kita orang Jawa mempunyai suatu kepercayaan, bahwa orang yang dilahirkan di saat matahari terbit, nasibnya telah ditakdirkan terlebih dulu. Jangan lupakan itu, jangan sekali-kali kau lupakan, nak, bahwa engkau ini putra dari sang fajar." (Adams, 2000:24) "Hari lahirku ditandai oleh angka serba enam. Tanggal enam bulan enam. Adalah menjadi nasibku yang paling baik untuk dilahirkan dengan bintang Gemini, lambang kekembaran. Dan memang itulah aku sesungguhnya. Dua sifat yang berlawanan." (Adams, 2000:25) Soekarno melihat dirinya yang terdiri dari dua sifat yang berlawanan sebagai satu kemungkinan pertanda nasibnya di dunia politik. "Karena aku terdiri dari dua belahan, aku dapat memperlihatkan segala rupa, aku dapat mengerti segala pihak, aku memimpin semua orang. Boleh jadi ini secara kebetulan bersamaan. Boleh jadi juga pertanda lain. Akan tetapi kedua belahan dari watakku itu menjadikanku seseorang yang merangkul semua-nya." Kejadian lain yang dianggap pertanda nasib oleh Soekarno adalah meletusnya Gunung Ke-lud saat ia lahir. Tentang ini ia menyatakan, "Orang yang percaya kepada takhayul meramalkan, 'Ini adalah penyambutan terhadap bayi Soekarno," Selain itu, penjelasan tentang penggantian nama Kusno menjadi Karno pun memberi satu mitos lagi dalam diri Soekarno kecil tentang dirinya sebagai calon pejuang dan pahlawan bangsanya. Kepercayaan akan pertanda yang muncul di hari kelahiran Soekarno memberi semacam gambaran masa depan dalam benak Soekarno sejak masa kecilnya. Dalam kerangka pemikiran Adler, gambaran masa depan itu disebut fictional final goals (tujuan akhir fiktif). Meskipun fiktif (tak didasari kenyataan), tetapi gambaran masa depan ini berperan menggerakkan kepribadian manusia untuk mencapai kondisi yang tertuang di dalamnya (Adler, 1930:400).



Lebih jauh lagi ke masa kecilnya, Soekarno sering merasa sedih karena hidup dalam kemelaratan sehingga tak dapat menikmati benda-benda yang diidamkannya. Selain itu, di lingkungan sekolah ia harus berhadapan dengan anak-anak Belanda yang sudah terbiasa memandang remeh pribumi. Pengalaman yang cukup traumatis terjadi di masa lima tahun pertama. Soekarno pernah berturut-turut menderita penyakit seperti tifus, disentri, dan malaria yang berujung pada penggantian namanya dari Kusno menjadi Karno, nama seorang tokoh pewayangan putra Kunti yang berpihak pada Kurawa demi balas budi dan kewajiban membela negara yang menghidupinya. Sakit yang melemah-kan secara fisik dapat berpengaruh terhadap kondisi psikis. Sangat mungkin muncul perasaan lemah, tak berdaya, dan terasing pada diri Soekarno kecil. Penjelasan dari ayahnya tentang makna pergantian nama yang memberinya kebanggaan karena menyandang nama pejuang besar. Pengalaman sakit-sakitan dan hidup dalam kemiskinan tampak membekas kuat dalam ingatan Soekarno. Di masa tuanya, ia menafsirkan kegemarannya bersenang-senang sebagai kompensasi dari masa lalunya yang dirampas kemiskinan (Adams, 2000). Ada semacam dendam terhadap kemiskinan dan ketidakberdayaan yang telah berkilat dalam dirinya. Dendam yang kemudian menggerakkannya pada semangat perjuangan kemerdekaan dan keinginan belajar yang tinggi. Riwayat hidup Soekarno memperlihatkan bagaimana gambaran dirinya di masa depan dan persepsinya tentang Indonesia menggerakkannya mencapai kemerdekaan Indonesia. "Aku ini bukan apa-apa kalau tanpa rakyat. Aku besar karena rakyat, aku berjuang karena rakyat dan aku penyambung lidah rakyat." Pengakuan ini meluncur dari Soekarno, Presiden RI pertama, dalam karyanya Menggali Api Pancasila. Sadar atau tidak sadar ia mengucapkannya, terkesan ada kejujuran di sana. Soekarno, sang orator ulung dan penulis piawai, memang selalu membutuhkan dukungan orang lain. Ia tak tahan kesepian dan tak suka tempat tertutup. Dari pidato dan tulisannya yang memperlihatkan betapa mahirnya ia menggunakan bahasa, tersirat sebuah kebutuhan untuk selalu mendapat dukungan dari orang lain.



Setelah menjadi presiden, Soekarno berpidato tiap tanggal 17 Agustus. Di sana dapat kita temukan kalimat-kalimat muluk, penggunaan perumpamaan elemen-elemen alam yang megah dan hiperbolisme bahasa. Dari tahun ke tahun pidatonya makin gegap-gempita, mencoba membakar semangat massa pendengarnya dengan retorika kata-kata muluk. Dari kalimat-kalimat itu dapat dibayangkan seperti apakah kondisi psikis orang yang menggunakannya. Dalam pidatonya tanggal 17 Agustus 1949, contohnya, ia berseru, "Kita belum hidup dalam sinar bulan purnama, kita masih hidup di masa pancaroba, tetaplah bersemangat elang rajawali." Di sini ada indikasi ia menempatkan diri sebagai orang yang bersemangat elang rajawali sehingga memiliki hak dan kewajiban untuk menyerukan pada rakyatnya agar memiliki semangat yang sama dengannya. Seruan yang sering dilontarkan dalam pidatonya adalah tentang perjuangan yang harus dilakukan tak henti-henti. "Kemerdekaan tidak menyudahi soal-soal, kemerdekaan malah membangun soal-soal, tetapi kemerdekaan juga memberi jalan untuk memecahkan soal-soal itu." (Pidato 17 Agustus 1948) "Tidak seorang yang menghitung-hitung: Berapa untung yang kudapat nanti dari Republik ini, jikalau aku berjuang dan berkorban untuk mempertahankannya." (Pidato 17 Agustus 1956) "Karena itu segenap jiwa ragaku berseru kepada bangsaku Indonesia: "Terlepas dari perbedaan apa pun, jagalah Persatuan, jagalah Kesatuan, jagalah Keutuhan! Kita sekalian adalah machluk Allah! Dalam menginjak waktu yang akan datang, kita ini se-olah-olah adalah buta." (Pidato 17 Agustus 1966)



Selain ajakan untuk berjuang, tersirat juga dari petikan-petikan tersebut bahwa Soekarno memandang dirinya sebagai orang yang terus-menerus berjuang mengisi kemerdekaan. Pengaruh fictional final goals-nya terlihat jelas, Soekarno yang sejak kecil membayangkan diri menjadi pemimpin bangsanya dengan kepercayaan tinggi menempatkan dirinya sebagai guru bagi rakyat. "Adakanlah ko-ordinasi, ada-kanlah simponi yang seharmonis-harmonisnya antara kepentingan sendiri dan kepentingan umum, dan janganlah kepentingan sendiri itu dimenangkan diatas kepentingan umum." (Pidato 17 Agustus 1951) "Kembali kepada jiwa Proklamasi .... kembali kepada sari-intinya yang sejati, yaitu pertama jiwa Merdeka Nasional... kedua jiwa ichlas... ketiga jiwa persatuan... keempat jiwa pembangunan." (Pidato 17 Agustus 1952) "Dalam pidatoku "Berilah isi kepada kehidupanmu" kutegaskan: "Sekali kita berani bertindak revolusioner, tetap kita harus berani bertindak revolusioner.... jangan ragu-ragu, jangan mandek setengah jalan..." kita adalah "fighting nation" yang tidak mengenal "journey's-end" (Pidato 17 Agustus 1956) Keinginannya untuk merengkuh massa sebanyak-banyaknya tampak dari kesenangannya tampil di depan massa. Bombasme-kecenderungan yang kuat untuk menggunakan kalimat-kalimat muluk dan ide-ide besar yang tidak disertai oleh tindakan konkret-praktis untuk mencapainya yang ditampilkannya dapat diartikan sebagai usaha memikat hati rakyat. Pidato-pidatonya banyak mengandung gaya hiperbola dan metafora yang berlebihan seperti "Laksana Malaikat yang menyerbu dari langit", "adakanlah simfoni yang seharmonis-harmonisnya antara kepentingan sendiri dan kepentingan umum", "Bangsa yang gila kemuktian, satu bangsa yang berkarat", dan "memindahkan Gunung Semeru atau Gunung Kinibalu sekalipun." Simak kutipan-kutipan berikut bagaimana gaya bahasa yang digunakan untuk memikat massa. "Janganlah melihat ke masa depan dengan Mata Buta! Masa yang lampau adalah berguna sekali untuk menjadi kaca mata benggalanya dari pada masa yang akan datang." (Pidato 17 Agustus 1966) "Atau hendakkah kamu menjadi bangsa yang ngglenggem"? Bangsa yang 'zelfgenoegzaam'? Bangsa yang angler memeteti burung perkutut dan minum teh nastelgi? Bangsa yang demikian itu pasti hancur lebur terhimpit dalam desak mendesaknya bangsa-bangsa lain yang berebut rebutan hidup!" (Pidato 17 Agustus 1960) Kita mau menjadi satu Bangsa yang bebas Merdeka, berdaulat penuh, bermasyarakat adil makmur, satu Bangsa Besar yang Hanyakrawati, gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kertaraharja, otot kawat balung wesi, ora tedas tapak palune pande, ora tedas gurindo. (Pidato 17 Agustus 1963)



Strategi universalisasi dalam tulisan dan karangan Soekarno melibatkan ajaran-ajaran agama kutipan dari tokoh ternama dalam sejarah dan peristiwa penting dalam peradaban manusia. Gagasan-gagasannya seolah berlaku universal dan diperlukan di mana-mana."Firman Tuhan inilah gitaku, Firman Tuhan inilah harus menjadi pula gitamu: "Innallaha la yu ghoiyiru ma bikaumin, hatta yu ghoiyiru ma biamfusihim" (Pidato 17 Agustus 1964) "Asal kita setia kepada hukum sejarah dan asal kita bersatu dan memiliki tekad baja, kita bisa memindahkan Gunung Semeru atau Gunung Kinibalu sekalipun." (Pidato 17 Agustus 1965) "Tetapi Tanah Air kita Indonesia hanya satu bahagian kecil saja dari pada dunia! Ingatlah akan hal ini! Gandhi berkata: "Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah perikemanusiaan." (Pidato Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945) Strategi naturalisasi merupakan usaha menampilkan sebuah ideologi atau kepercayaan sebagai sesuatu yang tampak alamiah. Ini banyak ditemukan dalam pidato-pidato Soekarno. Penjelasan-penjelasannya tentang Pancasila sangat jelas menggunakan naturalisasi. "Ke Tuhanan Yang Maha Esa, Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Kedaulatan Rakyat, Keadilan Sosial. Dari zaman dahulu sampai zaman sekarang ini, yang nyata selalu menjadi isi daripada jiwa bangsa Indonesia." (Pancasila sebagai Dasar Negara, hal:38) Bukan hal yang aneh jika Soekarno berkembang menjadi seorang ideolog. Kepercayaan sejak kecil tentang kemuliaan, kepeloporan dan kepemimpinannya, mendorong kuat Bung Besar ini menyebarkan kebenarannya. Gambaran diri yang fiktif dan mistis ini pula yang memberinya kepercayaan diri tampil berapi-api di depan lautan massa.



Merujuk Adler, benang merah perkembangan kepribadian Soekarno jadi begitu jelas. Masa dewasanya merupakan proyeksi dari keinginan masa kecil. Soekarno membayangkan dirinya sebagai pembaru bangsa sejak kecil. Ia tumbuh sebagai manusia yang penuh dengan gagasan-gagasan yang terbilang baru di masa hidupnya. Kegemaran akan buku dan belajar berbagai hal tak lepas dari cita-cita yang digenggamnya erat-erat: menjadi penyelamat bangsa. Disiplin belajar yang dibiasakan ayahnya berpengaruh besar terhadap hal ini. Hingga di usia melampaui 60 tahun, ia masih gemar membaca. Kamar tidurnya penuh dengan buku sekaligus kutunya (Adams, 2000). Daya serapnya pun luar biasa. Perpaduan berbagai aspek kepribadian dengan kualitas luar biasa inilah yang memungkinkannya tampil sebagai orator dengan wawasan begitu luas. Kondisi sosial dan budaya masyarakat Indonesia juga berperan penting bagi perkembangan Soekarno. Mitos akan datangnya Ratu Adil, kepercayaan terhadap titisan dewa dan kepemimpinan politik yang tak lepas dari aspek spiritualitas memompa Soekarno berkembang menjadi tokoh yang dikultuskan. Namun, sehebat-hebatnya ia mempengaruhi massa, seluas-luasnya wawasan di benaknya dan sebesar-besarnya kekuasaan yang dimilikinya, Bung Karno tak bisa lepas dari kebutuhannya untuk selalu memperoleh dukungan sosial. Kesepian menjadi derita yang menyakitkan hingga akhir hayatnya. Apa yang dilakukannya untuk memperoleh dukungan massa di sisi lain menjadikannya sebagai orang yang terasing, terpencil dari rakyat. Dari kacamata Alfred Adler (1930), penyakit yang diderita Soekarno kecil bisa jadi membekas pada kepribadiannya di masa-masa berikutnya. Kesakitan yang diderita Soekarno itu bisa menimbulkan perasaan lemah, tak berdaya, dan tersiksa yang disebut Adler sebagai pe-rasaan inferioriti. Jika perasaan ini tidak ditangani secara tuntas maka akan timbul kecemasan yang mendukung munculnya perasaan inferioriti baru di ta-hap berikutnya hingga terakumulasi menjadi kompleks inferioriti-sebuah kondisi kejiwaan yang ditandai dengan perasaan rendah diri berlebihan dan kecemasan yang tinggi terhadap lingkungan sosial.



Untungnya lingkungan keluarganya memberi perhatian dan semangat yang memadai, terutama ibu, sehingga ia dapat menemukan perasaan aman dan nyaman di sana. Ia lalu sering tampil sebagai pemimpin yang dominan. Namun, ini pun memunculkan suatu ketergantungan akan afeksi. Hingga dewasa kebutuhan afeksi itu tak jua tercukupi. Ia mengaku selalu membutuhkan wanita sebagai pegangan. Penggantian nama Kusno menjadi Karno dan penjelasan maknanya juga menjadi cara yang baik untuk menangani perasaan inferioriti yang dialami Soekarno kecil. Ia dapat menyusun sebuah pemahaman di benaknya bahwa apa yang dialami merupakan sesuatu yang wajar sebagai seorang calon pahlawan besar sekelas Karna putra Kunti. Demikian pula dengan mitos-mitos tentang dirinya. Namun, ini pun mengakibatkan dirinya cenderung terpaku pada hal-hal besar dan mengabaikan hal-hal kecil. Dalam kondisi-kondisi penuh dukungan lingkungan sosial, Soekarno bisa memperoleh perasaan superioritas, perasaan aman dan nyaman menghadapi dunia. Untuk itu, ia selalu berusaha menarik perhatian banyak orang agar selalu berada di sekelilingnya, berpihak padanya. Pidatonya yang penuh kalimat bombastis merupakan cara memikat hati orang lain seperti seorang perayu yang tak ingin kehilangan kekasihnya. Namun, di saat-saat kesepian ia bisa mengalami perasaan frustrasi dan depresi. Ia sangat tidak menyukai kesendirian. Tragisnya, hukuman ini yang ia terima di akhir hidup, menjadi seorang tahanan rumah dan meninggal dalam kesepian.



Soekarno adalah seorang cendekiawan yang meninggalkan ratusan karya tulis dan beberapa naskah drama yang mungkin hanya pernah dipentaskan di Ende, Flores. Kumpulan tulisannya sudah diterbitkan dengan judul Dibawah Bendera Revolusi, dua jilid. Namun, dari dua jilid ini hanya jilid pertama yang boleh dikatakan paling menarik dan paling penting karena mewakili diri Soekarno sebagai Soekarno. Dari buku setebal kira-kira 630 halaman tersebut tulisan pertama yang berasal dari tahun 1926, dengan judul "Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme" yang paling menarik dan mungkin paling penting sebagai titik-tolak dalam upaya memahami Soekarno dalam gelora masa mudanya, seorang pemuda berumur 26 tahun-kira-kira pada umur yang sama ketika Marx, 30 tahun, dan Engels, 28 tahun, menulis Manifesto Partai Komunis. Marx dan Engels membuka manifestonya dengan kata-kata "a spectre is haunting Europe--the spectre of Communism", ada hantu yang menggerayangi Eropa--hantu komunisme. Soekarno membuka tulisannya dengan suatu pernyataan keras, semacam Manifesto Soekarno-isch: Sebagai Aria Bima-Putera, jang lahirnja dalam zaman perdjoangan, maka Indonesia-Muda inilah melihat tjahaja hari pertama-tama dalam zaman jang rakjat-rakjat Asia, lagi berada dalam perasaan tak senang dengan nasibnja. Tak senang dengan nasib-ekonominja, tak senang dengan nasib-politiknja, tak senang dengan segala nasib jang lain-lainnja. Zaman "senang dengan apa adanja", sudahlah lalu. Zaman baru: zaman m u d a, sudahlah datang sebagai fadjar jang terang tjuatja. Paralelisme antara manifesto Marxis dan manifesto Sukarno-isch bisa dilihat di sini. Soekarno membuka manifestonya yang sarat dengan simbolisme ketika di sana dikatakan tentang Suluh Indonesia Muda, majalah bulanan yang didirikannya sebagai organ organisasi Algemeene Studie Club, yang juga didirikannya: "Sebagai Aria Bima-Putera, jang lahirnja dalam zaman perdjoangan". Dalam imaji Soekarno Suluh harus menjadi secerdik-cendekia Gatotkaca, sesakti dan seulet tokoh wayang itu yang menjadi orang terakhir yang mengembuskan napasnya di tangan pamannya sendiri. Imaji Soekarno tentang Gatotkaca tidak jauh dari imaji orang Jawa umumnya tentang Gatotkaca, yakni berani tak mengenal takut, teguh, tangguh, cerdik, waspada, tangkas dan terampil, tabah dan mempunyai rasa tanggung jawab yang besar. Ia sangat sakti, sehingga digambarkan sebagai ksatria yang mempunyai 'otot kawat balung wesi'...sumsum gagala, kulit tembaga, drijit gunting, dengkul paron... (Ensiklopedi Wayang Purwa, BP, 1991)



"Hantu" Gatotkaca selalu kembali kalau diperlukan kerajaan Pandawa dalam keadaan krisis dan dalam kalangan keluarga Pandawa berlaku semacam standing order:"...bila sewaktu-waktu menghadapi bahaya, agar memanggil Gatotkaca". Gatotkaca di sini tidak lain dari semacam "hantu", spectre, das Gespenst dalam Manifesto Karl Marx, yang menurut Derrida hantu itu harus dipahami dalam arti hantologie-dan bukan ontologie sebagaimana Marx selalu ditafsirkan--sebagai keadilan yang tidak bisa diredusir lagi. Dalam manifesto Soekarno, maka dasar berpijak itu berada pada kemerdekaan dari mana tidak ada reduksi lagi-yaitu kemerdekaan dalam arti lepas dan melepaskan diri dari kolonialisme asing, Barat. Kemerdekaan memerlukan beberapa syarat dan salah satu syarat terpenting adalah persatuan. Hantu kemerdekaan itulah yang selalu kembali seperti Gatotkaca untuk menuntut keadilan dalam suatu masa ketika Asia merasa tak senang dengan nasibnya yaitu nasib kolonial yang tak adil. Dalam paham Soekarno kolonialisme tidak lain dari soal kekurangan rezeki dan "kekurangan rezeki itulah jang mendjadi sebab rakjat Eropah mentjari rezeki dinegeri lain!". Dalam paham Soekarno di Asia sudah mulai tumbuh keinsyafan akan tragedi ketika "rakjat-rakjat Eropah itu mempertuankan negeri-negeri Asia" (untuk para pembaca muda "mempertuankan negeri-negeri Asia = menguasai, menjajah Asia-Penulis). Keinsyafan akan tragedi itulah yang sekarang menjadi nyawa pergerakan rakyat Indonesia yang walaupun dalam maksudnya sama "ada mempunyai tiga sifat: nasionalistis, Islamistis dan Marxistis-lah adanja". Apa yang dipahami Soekarno tentang marxisme? Sebelum masuk ke dalam apa yang dipahami Soekarno, untuk itu baca Franz Magnis-Suseno, mari kita lihat beberapa hal teknis tentang orang yang disanjungnya dan paham yang dipuja. Sungguh mencengangkan bahwa menulis nama Karl Marx pun, Soekarno menulisnya terbalik, dalam suatu urutan nama Barat, dengan tiga suku bersama iddle name. Soekarno menulis bukan Karl Heinrich Marx, akan tetapi Heinrich Karl Marx. Ketika memberikan acuan kepada Manifesto Komunis Soekarno mengatakan, di tiga halaman berbeda, bahwa Manifesto ditulis dan diumumkan tahun 1847--tahun sesungguhnya adalah bulan Februari 1848. Semua kekeliruan "kecil" di atas harus dimaafkan karena lebih bisa diterima sebagai kealpaan seorang sarjana yang baru saja tamat Sekolah Tinggi Teknik di Bandung dengan gelar insinyur--kalau sudah tamat karena Soekarno menyelesaikan studinya 25 Mei 1926. (Edisi asli Soeloeh Indonesia Moeda, tidak diperoleh).



Nasionalisme Soekarno adalah jenis nasionalisme voluntaristik, dengan tekad sebagai modal dengan tujuan hampir satu-satunya yaitu persatuan tanpa mempedulikan realitas ekonomi-politik. Karena itu ketika Soekarno mengatakan bahwa: ...asal mau sahadja...tak kuranglah djalan kearah persatuan. Kemauan, pertjaja akan ketulusan hati satu sama lain, keinsjafan akan pepatah "rukun membikin sentausa" ...tjukup kuatnja untuk melangkahi segala perbedaan dan keseganan antara segala fihak-fihak dalam pergerakan kita ini lebih menjadi wishful thinking baik pada waktu itu maupun pada waktu ini. (Baca: Baskara Wardaya) Mengapa persatuan? karena itulah persyaratan bagi kemerdekaan. Dengan begitu semua yang lain atau tunduk kepada atau harus ditafsirkan kembali atas dasar persatuan. Persatuan pada gilirannya akan merumuskan jenis nasionalisme, Islam, dan marxisme. Hampir seluruh esoterisme Soekarno dan kekhilafan fundamental yang tersebar sana-sini ketika menafsirkan nasionalisme, Islam, dan marxisme berasal dari sana. (Baca: Vedi Hadiz) Semakin Soekarno diperiksa, semakin kita tidak mengerti siapa Soekarno itu selain bahwa suratan takdir itu sudah dipenuhinya yaitu memimpin Indonesia dalam waktu yang lama-bukan sekadar ketika menjadi presiden, akan tetapi jauh-jauh sebelum itu, sekurang-kurangnya sejak mengeluarkan manifesto Soekarno-isch tahun 1926 sampai dijatuhkan militer tahun 1966 di Jakarta. Setelah jatuh pun Orde Baru tidak mampu menghapus Soekarno dari kenangan publik dan pujaan massa yang tidak pernah mengenalnya. (Baca: Agus Sudibyo). Manifesto itu menjadi dasar geloranya, dan juga menjadi dasar ketidak-tentuan-nya. Namun, sejak itu Soekarno dan Indonesia hampir tidak terpisahkan, baik bagi bangsanya, maupun bagi dunia: bagi Asia, Afrika, dan Amerika Latin, Belanda kolonial, bagi fasisme Jepang, maupun bagi imperialis, Amerika dan Inggris-baik sebelum maupun sesudah Indonesia merdeka.



Secara intelektual dan politik ketika Soekarno menganalisa soal dia menjadi Marxis. Ketika dia ingin menghanyutkan massa Soekarno menjadi Leninis dalam jalan pikiran. Namun, ketika harus memecahkan soal dalam masa krisis, dia menjadi lebih dekat kepada sesuatu yang sangat dibencinya yaitu menjadi fasis dalam berpikir dan bertindak. Karena itu dia dan militer seperti aur dan tebing, yang satu membutuhkan yang lain, meski kemudian dia dikhianati militer. Dalam hubungan dengan gerak dan tindakan militer, Soekarno menempatkan persatuan jauh-jauh lebih penting, sesuatu yang sangat disukai militer, dari kemerdekaan, terutama dalam arti kebebasan-Soekarno menjadi anti-Soekarno-sesuatu yang mungkin lebih diperlukan warganya yang sudah lelah dan letih ditindas ratusan tahun, oleh tuan-tuan asing-putih-kuning, dan kelak tuan-tuan sawomatang dari bangsanya sendiri. Tidak ada orang lain yang lebih paham tentang penderitaan itu dari Soekarno. Di akhir masa kekuasaannya, Soekarno sering merasa kesepian. Dalam autobiografinya yang disusun oleh Cindy Adams, Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat, ia menceritakannya. "Aku tak tidur selama enam tahun. Aku tak dapat tidur barang sekejap. Kadang-kadang, di larut malam, aku menelepon seseorang yang dekat denganku seperti misalnya Subandrio, Wakil Perdana Menteri Satu dan kataku, 'Bandrio datanglah ke tempat saya, temani saya, ceritakan padaku sesuatu yang ganjil, ceritakanlah suatu lelucon, berceritalah tentang apa saja asal jangan mengenai politik. Dan kalau saya tertidur, maafkanlah.'... Untuk pertama kali dalam hidupku aku mulai makan obat tidur. Aku lelah. Terlalu lelah." (Adams, 2000:3) "Ditinjau secara keseluruhan maka jabatan presiden tak ubahnya seperti suatu pengasingan yang terpencil... Seringkali pikiran oranglah yang berubah, bukan pikiranmu.. Mereka turut menciptakan pulau kesepian ini di sekelilingmu." (Adams, 2000:14)



Apa yang ditampilkan Soekarno dapat dilihat sebagai sindrom orang terkenal. Ia diklaim milik rakyat Indonesia. Walhasil, ia tak bisa lagi bebas bepergian sendiri menikmati kesenangannya (Adams, 2000:12). Namun, melihat ke masa mudanya, kita juga menemukan tanda-tanda kesepian di sana. Semasa sekolah di Hogere Burger School (HBS), ia menekan kesendiriannya dengan berkubang dalam buku-buku, sebuah kompensasi dari kemiskinan yang dialaminya. Kebiasaan ini berlanjut hingga masa ia kuliah di Bandung. Soekarno terkenal sebagai pemuda yang pendiam dan suka menarik diri (Adams, 2000:89-91). Indikasi kesepian juga kita dapatkan dalam ceritanya tentang penjara. Malam-malam di penjara menyiksanya dengan ruang yang sempit dan tertutup. Dinding-dinding kamar tahanannya terlalu menjepit dirinya. Lalu muncullah perasaan badannya yang membesar hingga makin terjepit dalam ruang tahanan itu. "Yang paling menekan perasaan dalam seluruh penderitaan itu adalah pengurungan. Seringkali jauh tengah malam aku merasa seperti dilak rapat dalam kotak kecil berdinding batu yang begitu sempit, sehingga kalau aku merentangkan tangan, aku dapat menyentuh kedua belah dindingnya. Rasanya aku tak bisa bernafas. Kupikir lebih baik aku mati. Suatu perasaan mencekam diriku, jauh sama sekali dari keadaan normal." (Adams, 2000:135) Liku-liku kepribadian Soekarno menunjukkan bahwa ia adalah orang besar yang mampu melampaui banyak orang dengan kelebihannya sebagai manusia yang berjasa mendirikan Republik Indonesia, maupun sebagai pribadi yang selalu terus berusaha mencapai kebaikan bagi dirinya dan orang lain. Soekarno wafat pada tanggal 21 Juni 1970.
Read Post | comments

Tokoh Politikus Pahlawan Indonesia

Dr. Sam Ratulangi



Dr. Gerungan Saul Samuel Yacob Ratulangi atau Sam Ratulangi yang lahir pada tahun 1890 adalah seorang politikus Minahasa dari Sulawesi Utara, Indonesia. Beliau adalah seorang pahlawan nasional Indonesia. Sam Ratulangi juga sering disebut-sebut sebagai tokoh multidimensional. Beliau dikenal dengan filsafatnya: "Si tou timou tumou tou" yang artinya: manusia baru dapat disebut sebagai manusia, jika sudah dapat memanusiakan manusia.



Sam Ratulangi juga adalah gubernur Sulawesi yang pertama. Beliau meninggal di Jakarta dalam kedudukan sebagai tawanan musuh pada tanggal 30 Juni 1949 dan dimakamkan di Tondano. Namanya diabadikan dalam nama bandar udara di Manado yaitu Bandara Sam Ratulangi dan Universitas Negeri di Sulawesi Utara yaitu Universitas Sam Ratulangi





M H Thamrin



MH Thamrin adalah seorang Politikus yang Santun. Mohammad Husni Thamrin dilahirkan di Sawah Besar, Betawi, 16 Februari 1894. Ia berasal dari keluarga berada. Kakeknya, Ort, orang Inggris, pemilik hotel di bilangan Petojo, yang menikah dengan perempuan Betawi, Noeraini. Ayahnya, Thamrin Mohamad Thabrie, pernah menjadi Wedana Batavia tahun 1908, jabatan tertinggi nomor dua yang terbuka bagi warga pribumi setelah bupati. Meski pada mulanya dipandang sebagai tokoh kooperatif, pada akhirnya hayatnya justru Thamrin dianggap berbahaya oleh Pemerintah Hindia Belanda.



Thamrin tidak mengibarkan bendera Belanda di rumahnya pada ulang tahun Ratu Wilhelmina, 31 Agustus 1940. Setelah dr. Sutomo meninggal dunia pada tahun 1938, maka Thamrin menggantikannya sebagai wakil Ketua Partai Indonesia Raya (Parindra). Perjuangannya di Volksraad tetap dilanjutkan dengan sebuah mosi, agar istilah Nederlands Indie, Nederlands Indische dan Inlander diganti dengan istilah Indonesia, Indonesische dan Indonesiea.



Sejak tanggal 6 januari 1941 Husni thamrin dikenakan tahanan rumah, karena dituduh bekerja sama dengan Jepang. Walaupun dalam keadaan sakit, Thamrin tidak boleh dikunjungi teman-temannya. Akhirnya ia meninggal dunia pada 11 Januari 1941 dan dimakamkan di pekuburan Karet, Jakarta. Tahun 1960, Presiden Soekarno mengangkatnya sebagai pahlawan nasional.



Read Post | comments

Tokoh Pahlawan Pergerakan Nasional

Kiai Haji Samanhudi



Kiai Haji Samanhudi yang lahir tahun 1868 adalah pendiri Sarekat Dagang Islamiyah, sebuah organisasi massa di Indonesia yang awalnya merupakan wadah bagi para pengusaha batik di Surakarta. Beliau wafat tahun 1956 dan dimakamkan di Banaran, Grogol, Sukoharjo.





Haji Agus Salim



Haji Agus Salim lahir dengan nama Mashudul Haq (yang bermakna "pembela kebenaran" tahun 1884 adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia. Agus Salim lahir dari pasangan Angku Sutan Mohammad Salim dan Siti Zainab. Ayahnya adalah seorang kepala jaksa di Pengadilan Tinggi Riau.



Pada tahun 1915, Salim bergabung dengan Sarekat Islam (SI) dan menjadi pemimpin kedua di SI setelah H.O.S. Tjokroaminoto. Peran Agus Salim pada masa perjuangan kemerdekaan RI antara lain:



. anggota Volksraad (1921-1924)

. anggota panitia 9 BPUPKI yang mempersiapkan UUD 1945

. Menteri Muda Luar Negeri Kabinet Sjahrir II 1946 dan Kabinet III 1947

. pembukaan hubungan diplomatik Indonesia - Arab - Mesir tahun 1947

. Menteri Luar Negeri Kabinet Amir Sjarifuddin 1947

. Menteri Luar Negeri Kabinet Hatta 1948-1949



Di antara tahun 1946-1950 ia laksana bintang cemerlang dalam pergolakan politik Indonesia, sehingga kerap kali digelari "Orang Tua Besar" (The Grand Old Man). Ia pun pernah menjabat Menteri Luar Negeri RI pada kabinet Presidentil dan di tahun 1950 sampai akhir hayatnya dipercaya sebagai Penasehat Menteri Luar Negeri.



Pada tahun 1952, ia menjabat Ketua di Dewan Kehormatan PWI. Biarpun penanya tajam dan kritikannya pedas namun Haji Agus Salim masih mengenal batas-batas dan menjunjung tinggi Kode Etik Jurnalistik. Ia meninggal dunia pada 4 November 1954 di RSU Jakarta dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.





Cipto Mangunkusumo



Cipto Mangunkusumo adalah seorang Dokter Pendiri Indische Partij. Cipto Mangunkusumo adalah seorang dokter profesional yang lebih dikenal sebagai tokoh pejuang kemerdekaan nasional. Dia merupakan salah seorang pendiri Indische Partij, organisasi partai partai pertama yang berjuang untuk mencapai Indonesia merdeka dan turut aktif di Komite Bumiputera.



Awal perjuangan Cipto Mangunkusumo, pria kelahiran Pecangakan, Ambarawa tahun 1886, ini dimulai sejak dia kerap menulis karangan-karangan yang menceritakan tentang berbagai penderitaan rakyat akibat penjajahan Belanda. Karangan-karangan yang dimuat harian De Express itu oleh pemerintahan Belanda dianggap sebagai usaha untuk menanamkan rasa kebencian pembaca terhadap Belanda.



Tidak bekerja sebagai dokter pemerintah yang diupah oleh pemerintahan Belanda, membuat dr. Cipto semakin intens melakukan perjuangan. Pada tahun 1912, dia bersama Douwes Dekker dan Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) mendirikan Indische Partij, sebuah partai politik yang merupakan partai pertama yang berjuang untuk mencapai Indonesia merdeka.



Di Banda Neira, dr. Cipto mendekam/terbuang sebagai tahanan selama tiga belas tahun. Dari Banda Naire dia dipindahkan ke Ujungpandang. Dan tidak lama kemudian dipindahkan lagi ke Sukabumi, Jawa Barat. Namun karena penyakit asmanya semakin parah, sementara udara Sukabumi tidak cocok untuk penderita penyakit tersebut, dia dipindahkan lagi ke Jakarta.



Jakarta merupakan kota terakhirnya hingga akhir hidupnya. Dr. Cipto Mangunkusumo meninggal di Jakarta, 8 Maret 1943, dan dimakamkan di Watu Ceper, Ambarawa. Atas jasa dan pengorbanannya sebagai pejuang pembela bangsa, oleh negara namanya dinobatkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional yang disahkan dengan SK Presiden RI No.109 Tahun 1964, Tanggal 2 Mei 1964 dan namanya pun diabadikan sebagai nama Rumah Sakit Umum Pusat di Jakarta.
Read Post | comments

Tokoh Pendiri Nahdlatul Ulama

Kiai Hasyim Asy'ari adalah Ulama Pembaharu Pesantren Pendiri pesantren Tebuireng dan perintis Nahdlatul Ulama (NU), salah satu organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia, ini dikenal sebagai tokoh pendidikan pembaharu pesantren. Selain mengajarkan agama dalam pesantren, ia juga mengajar para santri membaca buku-buku pengetahuan umum, berorganisasi dan berpidato. Karya dan jasa Kiai Hasyim Asy�ari yang lahir di Pondok Nggedang, Jombang, Jawa Timur, 10 April 1875 tidak lepas dari nenek moyangnya yang secara turun-temurun memimpin pesantren.



Ayahnya bernama Kiai Asyari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah. Dari garis ibu, Kiai Hasyim Asy�ari merupakan keturunan Raja Brawijaya VI, yang juga dikenal dengan Lembu Peteng, ayah Jaka Tingkir yang menjadi Raja Pajang (keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir).



Pada tahun 1899, Kiai Hasyim Asy'ari mendirikan pesantren di Tebuireng yang kelak menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada abad 20. Sejak tahun 1900, Kiai Hasyim Asy'ari memosisikan Pesantren Tebuireng, menjadi pusat pembaruan bagi pengajaran Islam tradisional. Tanggal 31 Januari 1926, bersama dengan tokoh-tokoh Islam tradisional, Kiai Hasyim Asy�ari mendirikan Nahdlatul Ulama, yang berarti kebangkitan ulama. Organisasi ini pun berkembang dan banyak anggotanya.



Pengaruh Kiai Hasyim Asy'ari pun semakin besar dengan mendirikan organisasi NU, bersama teman-temannya. Itu dibuktikan dengan dukungan dari ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bahkan, para ulama di berbagai daerah sangat menyegani kewibawaan Kiai Hasyim. Kini, NU pun berkembang makin pesat. Organisasi ini telah menjadi penyalur bagi pengembangan Islam ke desa-desa maupun perkotaan di Jawa.



Sesudah Indonesia merdeka, melalui pidato-pidatonya Kiai Hasyim Asy�ari terus berjuang membakar semangat para pemuda supaya mereka berani berkorban untuk mempertahankan kemerdekaan. Beliau meninggal dunia pada tanggal 25 Juli 1947 karena pendarahan otak dan dimakamkan di Tebuireng.
Read Post | comments
 
© Copyright Tokoh Ternama All Rights Reserved.